Author Archives: kenterate

About kenterate

Ibu rumah tangga, penulis, penerjemah, yang hobi ngobrol nggak penting.

Mabuk Piala, Nyandu Pengakuan

Tempo hari saya bertandang ke rumah seorang kenalan. Di salah satu sudut ruang tamunya terdapat meja kecil yang sesak oleh piala. Saya langsung terpesona – saya memang gumunan–.  Piala bagi saya adalah lambang supremasi prestasi. Zaman saya kecil dulu belum banyak orang punya piala. Piala –yang umumnya berwarna abu-abu luwuk dan bentuknya kayak gelas berkuping dua– didapatkan dengan susah payah. Bila dalam keluarga ada anggota yang memenangkan piala, hampir dapat dipastikan piala itu menempati tempat terhormat di ruang tamu dan bisa dilihat oleh semua orang.  Kadang-kadang disertai foto si pemenang megang piala atau kalungan medali. Yah, siapa tahu itu dikira piala tetangga.

 

Memenuhi hasrat kekepoan saya , saya baca label piala-piala itu; juara sekian lomba drumband tingkat TK, juara sekian lomba mewarnai, dan juara pertama lomba wudu! Wudu. Wow. Pasti  si anak sangat fasih dalam berwudu hingga dapat juara satu. Gerakannya pasti sangat urut, doanya fasih – tidak cuma sebelum dan sesudah, tetapi juga selama berwudu–, plus pengetahuan dan penghayatannya tentang wudu sangat mendalam. Tetapi eh, saya jadi penasaran kriteria apakah yang dipakai untuk menilai sebuah wudu selain urutannya.

 

Saya belajar agama sejak SD, tetapi tetap nggak yakin cara berwudu yang benar. Habis gimana, ajaran guru satu dengan guru lain sering beda. Yang satu mengharuskan melafakan niat, yang lain bilang selama kita menyadari yang kita lakukan itu sudah sama dengan berniat.

 

Yang satu bilang seharusnya membasuh tangan seharusnya dilakukan ke tangan kanan tiga kali, disusul tangan kiri tiga kali, yang lain menyarankan kanan-kiri-kanan-kiri-kanan-kiri. Ada yang bilang telinga harus dibasuh bergantian, ada yang bilang bersamaan. Entahlah, mana yang benar. Saya bukan ahli agama.

 

Dan yang paling penting, apa sih tujuan lomba wudu? Biar anak-anak semangat belajar dan mengamalkan wudu? Well, belum ada penelitian berkaitan dengan itu. Apakah anak-anak lalu bersemangat wudu setelah lomba? Saya nggak yakin.  Tetapi yang jelas inilah faktanya: bangsa ini sangat suka perlombaan dan percaya banget lomba bikin orang bersemangat berprestasi.

 

Jualan Piala

 

Pernah dengar lomba toga (tanaman obat keluarga)? Dulu toga pernah jadi program pemerintah. Agar masyarakat bersemangat menanam toga, diadakanlah lomba. Memang warga jadi berpacu membuat taman toga, meski saya yakin sebagian melakukannya karena terpaksa. Zaman itu, kalau nggak menuruti program pemerintah buntutnya bisa mengerikan. Ada peserta yang membeli tanaman dalam polybag buat dipajang pas lomba doang. Tetapi setelah itu ditelantarkan karena ternyata ngrawat kencur dan kunir nggak segampang mencet video panduan berkebun di Youtube.

 

Masalahnya segala macam lomba itu telanjur membuat masyarakat kita percaya bahwa prestasi dan harga diri ditentukan oleh kemenangan dalam lomba. Singkatnya oleh piala.

 

Maka jangan heran bila bisnis ‘jual piala’ kini marak. Lomba mewarnai selalu penuh peserta dan jadi ajang pemasaran paling efektif. Cukup diimingi piala dan goody bag berisi pensil warna murah dan voucher sekian perak, orangtua  berbondong-bondong menggandeng anaknya ke lomba mewarnai di gerai masakan cepat saji dan akhirnya jajan banyak di sana.   Pialanya cuma seharga lima belas ribu, jajannya seratus ribu.

 

Lomba foto bayi imut banyak beredar di internet. Pesertanya bayar seratus ribu. Kalau menang dapat piala lima belas ribu tadi yup, semua menang, semua senang. Namun, yang paling senang tentu penyelenggaranya karena konon bisa mendapat milyaran rupiah dari aksinya jualan piala. Yang juga setipe dengan ini adalah lomba menulis –cerpen biasanya–. Biaya pendaftaran seratus ribu, pemenangnya dapat pulsa lima puluh ribu. Periiih, ongkos nulis dihargai setara dua mangkok bakso –itu pun kalau menang–.

 

Tak hanya di medsos, modus lomba semacam ini juga ada di dunia nyata. Seorang teman yang pernah ikut lomba kecantikan bersaksi panitia lomba menawarinya posisi juara yang bisa dipilih. Kalau pengin juara satu bayar sekian juta, kalau mau juara dua bayar sekian juga.

 

Kegilaan kita pada piala juga ditangkap oleh profesi lain: juru potret! Kalau ada acara anak-anak, dapat dipastikan ada juru foto menggelar lapak, siap memotret anak-anak cantik dan ganteng memegang piala! Asal pegang property piala, nggak perlu background instragrammable! Omong-omong, itu piala apa? Piala siapa? Tulisannya apa? Nggak tahu, pokoknya nanti si anak punya foto pegang piala. Toh nggak ada yang bakal memperhatikan detailnya.

 

Yang lebih parah ada praktek bagi-bagi piala di lembaga pendidikan.  Dengan dalih tak ingin mencederai harga diri anak, dalam suatu kegiatan sekolah, semua anak dapat piala. Siapa yang iuran beli piala? Ya ortunya lah. Padahal kalau cuma piala, kan bisa tuh beli selusin terus ditempeli stiker sendiri.

 

Maka saya nggak heran ketika suatu hari saya melihat spanduk di jalan raya yang bunyinya kayak gini, “Ayo jaga kebersihan, agar Jogja menang Adipura.” Aduh, sampai pemerintah pun perlu eksis dengan dengan memajang piala!

 

Eh, tadi ngomongin apa sih, kok sampai Adipura? Oh, ya lomba wudu. Apakah salah kalau hal-hal baik dilombakan? Nggak juga sih. Tetapi menurut saya, selain sepakbola, bulu tangkis, basket dan konco-konconya yang harus dilombakan (sebab, apa asyiknya sepakbola kalau nggak dilombakan?), nggak perlu lah kita membebani diri untuk berprestasi dan mengoleksi piala di bidang-bidang yang nggak esensial. Kalau mau lomba, ya lomba buat senang-senang aja, deh, macam lomba makan krupuk plus nasi dan sambal. Itu kan murah, menang dan kalah nggak masalah. Hadiahnya juga lebih berfaedah daripada piala: handuk dan Sarimi.

 

 

 

 

 

 

 

 

Biar Istri Nggak Bau Bawang

Berkali-kali kalau mendengarkan pengajian yang membahas hubungan suami istri, saya mendengar ceramah yang kurang lebih isinya begini;

 

“Jadi istri tuh harus tampil cantik di depan suami. Jangan kalau pergi kondangan dandanan full, baju bagus, wangi, tapi kalau di rumah pakai daster bolong, nggak sisiran, bau bawang, atau lebih parah minyak gosok.”

 

Oke, fine, masalahnya kok nggak dibahas kalau buat tampil cantik itu butuh biaya dan usaha? Kalau istrimu ibu rumah tangga yang nggak punya penghasilan atau kerja tapi penghasilan pas-pasan, ya kasih dong duit buat beli baju cantik dan make-up. Nggak cuma itu, peganglah anak-anakmu, biar istrimu sempat nyalon, beli tas, dan olahraga.

 

Biar nggak bau bawang? Pekerjakan asisten dong biar istrimu nggak perlu nguprek di dapur. Bisa jadi dia nguprek di dapur bukan karena hobi lho, tapi karena harus masak buat kamu (ya, kamu).

 

Dan yang paling penting seharusnya di depan pasanganlah kita justru bisa tampil apa adanya, senyaman kita. Maksudnya, buat cewek yang suka dandan, ya seharusnya nyaman aja dandan di depan suami. Yang nggak suka dandan, seharusnya santai aja nggak dandan di depan suami. Contoh nih, saya dan suami adalah penggemar kaus tua. Kaus makin tua makin kami cinta karena makin nyaman dipakai (kayak jeans deh). Kami sudah saling paham soal itu.

 

Terakhir, kalau memang suami nuntut istri tampil cantik, coba juga dong tampil ganteng. Jangan protes istri pakai daster gombrong kalau Anda  hobi pakai celana kolor. Kalau laki-laki suka melihat perempuan cantik, perempuan juga senang lho lihat laki-laki tamvan.

 

 

 

 

Tak Perlu Kau Tudingkan Jarimu

Beberapa bulan lalu mencuat kasus seorang ibu (23 tahun) menganiaya anaknya (4 tahun) hingga tewas. Saya tak tahu persis aspek ‘when and where’ kejadian itu, dan terlalu pilu untuk membaca beritanya. Sebelumnya seorang ibu tiri juga ‘tanpa sengaja’ menyikut anak tirinya yang ‘bodoh’ saat belajar membuat si anak roboh menghantam (tembok/lantai?) dan tewas. Bukan kasus yang asing. Kalau didaftar bisa berkilo-kilo byte habis.

 

Kasus semacam itu selalu membuat kita sedih dan terperanjat, lalu terlupakan tak lama kemudian. Dan saat cerita-cerita semacam itu beredar, tak pelak lagi, pasti terlontar komentar semacam, “Ibunya tega banget.” Selalu dan selalu saja, bila ada bayi lahir lalu ditelantarkan/dibunuh oleh ibunya, komentarnya tak jauh-jauh dari menyalahkan si ibu. Lha, iyalah, mau menyalahkan siapa lagi? Bagaimana dengan bapaknya? Yah, kan yang berbuat salah ibunya! Tapi pernahkan kita bertanya mengapa si ibu sampai berbuat begitu?

 

Konon, tak ada ibu yang tega membunuh anaknya. Binatang pun tak bakal berbuat sekejam itu (sebenarnya ada induk binatang yang membunuh anaknya, tapi… yah bukan itu yang saya bahas). Apa yang saya dengar dan saksikan membuktikan bahwa manusia adalah makhluk paling ganas dan kejam di muka bumi. Manusia menyakiti sesama atau makhluk lain, mengambil lebih dari yang ia butuhkan, dan membunuh? Ya, manusia tega membunuh, bahkan anaknya sendiri.

 

Ikut Sakit

Setelah menjadi ibu, barulah saya merasakan beratnya peran yang satu ini. Tantangan kondisi fisik selama hamil dan melahirkan kadang tak mudah bagi sementara perempuan. Ini masih ditambah perubahan psikologis yang naik turun. Tiap ibu merasakan kondisi yang berbeda, tapi takut dan cemas nyaris selalu ada.

 

Setelah melahirkan beragam tantangan baru muncul lagi. Bayi butuh pendampingan ’24 jam’ –dan berlangsung seperti ini: nyusu, eek, pipis, nangis, nyusu, eek, pipis, nangis, (ulang kembali).  Ritme si ibu berubah drastis (kadang si ibu mesti kehilangan pekerjaan, hobi, dan jam tidurnya), sementara tugas baru, berat, dan membosankan tak bisa diabaikan. Harus diakui proses melahirkan dan mengasuh anak tidak hanya melulu lagu merdu.

 

Jadi bayangkan saja bila itu masih ditambah kesulitan keuangan, suami yang tak peduli (suami yang tak membantu masih dianggap ‘mending’ karena ada suami yang sudah nggak membantu mengganggu pula) dan hingga masalah lain yang cukup kompleks (taruhlah kekerasan domestik). Tetapi tiap kali si ibu melakukan sesuatu yang tidak baik, komentar kita yang nggak menjalani adalah, ‘tega amet sih ibu, anaknya nangis dibiarin.’, ‘males banget sih ibu itu, cucian numpuk dionggokin’ atau ‘ih, kejam banget sih, anak sendiri dipukulin’, tanpa kita mau tahu apakah si ibu lahir batinnya sejahtera.

 

Pernah suatu pagi di pinggir jalan saya melihat seorang ibu duduk nglemprok di trotoar.  Motornya ia hentikan begitu saja di pinggir jalan. Ia membawa dua anak bersamanya, yang besar seorang bocah laki-laki berseragam SD, yang kecil perempuan mungkin tiga tahunan usianya. Yang membuat heboh orang-orang adalah si anak SD njempling-njlempling nangis sambil teriak-teriak, “Aku mau pulaaanggg, aku nggak mau sekollaaaahhh. Pulllaaaanggg!” Itu terus yang diulang-ulang. Si adik perempuan duduk di atas motor, cengok. Anak perempuan kecil itu dan ibunya bertampang sama: kusut masai. Bajunya kumal, tubuhnya jelas belum terbilas air mandi. Si kecil tambah kumal lagi karena celemongan ingus. Habis akal membujuk anak SD-nya (mungkin tak hanya membujuk), si ibu akhirnya duduk nggelesot saja. Air mata meleler di pipinya. Orang-orang merubunginya, tapi tak ada yang bisa membantu, meski mencoba.

 

Trenyuh benar saya memandangnya. Si ibu kelihatan sangat letih dan tertekan. Saya bayangkan paginya yang serba grudak-gruduk. Sarapan mungkin tak ada. Uang juga tiada. Anaknya rewel dan di mana suaminya? Apakah ia punya suami? Apakah suaminya sudah berangkat kerja? Apakah suaminya jadi TKI di luar negeri? Atau… mungkinkah dia masih bergelung tidur sementara istrinya berjibaku mengurus anak-anak dan pekerjaan lain? Apakah ia asyik merokok sambil minum kopi di warung sebelah (setelah minta uang pada istrinya dengan kasar?). Apa pun itu, inilah potret banyak perempuan yang mesti menanggung porsi besar pengasuhan anak-anak.

 

Unless We’ve Walked a Mile in Their Shoes

Kembali ke kasus yang saya kutip di awal. Anda tentu bisa membayangkan, bila si ibu berusia 23 sementara anaknya berusia 4 tahun, umur berapa ia melahirkan? 19! Yak 19 tahun! Bisa apa saya dan Anda pada usia segitu? Boro-boro mengasuh anak, mengelap ingus sendiri saja belum tentu bersih bukan? Dan mengapa ia punya anak (dan menikah) pada usia segitu? Silakan tebak sendiri. Tapi dapat saya bayangkan, betapa tidak siapnya si ibu muda ini. Mungkin ia banyak bertengkar dengan suaminya yang umurnya masih sama mentahnya. Mungkin dia korban ‘dating rape’ dan tak pernah menginginkan kehamilan. Mungkin suaminya manggrok di game center sementara ia kerepotan menangani urusan domestik dan kemungkinan besar ekonomi mereka nggak mapan.

 

Saya pikir sebagian besar kasus kekerasan pada anak tumbuh dari akar-akar semacam itu. Ini diperparah dengan stigma masyarakat yang memang  membebankan sebagian tanggung jawab ‘kesalehan sosial’ pada perempuan.

 

Sungguh tak mudah menghilangkan nyawa, bayi yang baru lahir sekali pun. Saya bayangkan perempuan-perempuan malang ini harus menyembunyikan kehamilannya dan saat tiba waktu melahirkan mereka harus melakukannya dengan sembunyi-sembunyi pula. Itu saja sudah sulit sekali secara lahir maupun batin. Dan mengakhiri hidup sesosok makhluk mungil juga sungguh tak mudah. Kalau menyembelih ayam pun susah dan bikin miris, bagaimana pula dengan melakukannya pada manusia? Bagaimana pula bila itu darah daging sendiri? Apa yang dirasakan si ibu? Tersayat-sayat habis pasti. Sedih, takut, bingung, gemetar tak keruan, nyaris gila. Mereka amat sangat takut dan amat sangat tahu itu keliru tapi amat sangat terpaksa melakukannya. Dan mereka masih harus menyembunyikan bukti, menghilangkan jejak, lalu menghadapi hukum bila ketahuan. Dan andai tak ketahuan, rasa bersalah mereka kemungkinan bakal menghantui seumur hidup. Saya sangat yakin, andai mereka punya pilihan yang lebih baik, mereka akan memilihnya. Tapi kan dia bisa meninggalkan bayinya di panti asuhan? Atau serahkan pada keluarga adopsi Atau apalah! Saya yakin semua pertimbangan sudah ia pikirkan, sudah ia bolak-balik berkali-kali, tapi sekali lagi, kecuali kita memakai bajunya, makan dari piringnya, dan tidur di kasurnya, kita nggak bakal tahu apa yang ia alami.

 

Tahun lalu kalau tidak salah, seorang mahasiswi kehilangan nyawa setelah ia melahirkan bayinya –yang juga tak selamat– di kamar kos secara sembunyi-sembunyi. Rupanya ia mengalami perdarahan. Miris? Banget. Kok ya nggak ke bidan atau gimana? Oalah, kalau dia punya suaminya yang ngantar, ya jelas lah dia bakal ke bidan atau dokter kandungan. Kalau masyarakat tak menghakimi dia sebagai ‘perempuan murahan yang bahkan tak bisa menjaga pahanya agar tetap rapat’ bisa jadi dia minta pertolongan. Andai keluarganya bakal mendukung dan menerima ia apa adanya, ia mungkin bakal melahirkan bayi itu di rumah sakit. Andai ia bukan korban perkosaan, dan bila lapor harus mengulang tragedinya dengan rinci dan ujung-ujungnya dipaksa menikah dengan orang yang memperkosanya (sebarapa hororkah itu?), mungkin ceritanya tak kan begitu.

 

Teganya Kita

“Mother never fails herself,” kata bidan kondang Robin Lim, “It’s the society that fails her.” Tak ada ibu yang gagal. Masyaratkatlah yang bertanggung jawab untuk membantu perempuan agar ia bisa menjadi ibu yang baik. Kalau ingin istri kita menjadi ibu yang baik, ya jelaslah kita harus membantunya. Tak hanya suami yang punya tugas ini, tapi juga ibu si ibu, ibu mertua, adik si ibu, tetangga si ibu, bidan si ibu, dan seterusnya.

 

Tak adil kita bilang ‘tega banget sih ibu kejam itu’, kalau kita juga tidak membantu. Tak usah kometar kalau bisanya cuma menuding-nuding jari. Kita tak pernah tahu apa yang ia alami, apa yang ia rasakan, atau apa yang harus tanggung bila membesarkan anak. Pun, kita juga tak tahu apa yang ia derita saat ia terpaksa atau tanpa sengaja mengakhiri hidup anaknya. Apalagi ternyata itu adalah ‘dosa’ kita semua. Dosa kita yang mengecap bahwa perempuan hamil di luar nikah bukanlah perempuan baik-baik. Dosa pemuka agama yang bilang ‘jangan terima bila segel rusak’ menyangkut keperawanan. Dosa ibu mertua yang mengatakan ‘kok bisa-bisanya kamu nuduh anakku selingkuh. Kalau pun dia selingkuh itu pasti karena kamu nggak bisa nyenengin suami’. Dosa masyarakat yang mengajarkan ‘laki-laki gagah tidak pantes cuci baju’, bahwa istri harus nurut suami apa pun keadaannya, bahwa tugas perempuanlah mendidik anak (dan bila gagal itu salahnya). Kalau kita tak mampu meringankan, setidaknya tak perlu kita tambahi beban di pundaknya.

Sekolah = Mandiri?

Sebagai orangtua yang menjalankan pendidikan rumah (homeschooling), kadang kami mendapat pertanyaan seperti ini. “Kalau nggak sekolah, gimana anakmu bisa mandiri?” Ini bukan pertanyaan sih sebenarnya, tapi sematjam tuduhan tadjam.

 

Mak tratap rasanya.  Iya ya, gimana anak saya bisa mandiri, wong tiap hari saya dampingi. Tiap hari mereka nemplok ke simboknya.

 

Tetapi beberapa hal yang saya saksikan sendiri akhir-akhir ini membuat saya bertanya, apa iya (hanya) sekolah yang menentukan kemandirian seseorang?

 

“Begitu masuk PAUD, cucu saya langsung mandiri lho, Bu,” kata sesesimbah bangga.

“Mandiri gimana, Mbah?”

“Bisa pakai sepatu sendiri.”

“Oh.”

(Lega, anak saya juga bisa pakai sepatu sendiri).

 

Kemandirian jadi salah satu alasan terkuat bagi ortu untuk menyekolahkan anaknya. Begitu pentingnya sifat mandiri ini bagi orangtua hingga mereka melakukan segala cara agar anak mandiri. Makin cepat mandiri, makin baik. Tak heran, anak-anak sudah dikirim sekolah bahkan sebelum mereka bisa merangkak. Diharapkan pada usia tujuh tahun mereka sudah bisa mandiri seperti bisa… errr… pakai sepatu sendiri. (Ya iyalah, masak anak segitu diminta nyusun makalah sendiri).

 

Balik ke masalah tadi, apakah sekolah membuat anak-anak mandiri? Ya! Bila mandiri itu dimaknai bisa pakai sepatu sendiri plus bisa berpisah dari dan tidak mengganggu orang tuanya selama beberapa jam.

 

Sekolah yang Merampas Kemandirian

“Anak saya yang SMA terpaksa berangkat sekolah sendiri kemarin karena saya nggak bisa ngantar,” kata sesebapak, “Biarlah, biar dia belajar mandiri. Dan ternyata dia bisa. lho.”

“Oya? Naik apa, Pak?”

“Taksi.”

(Saya ternganga)

 

Pada lain waktu, seseibu mengeluh,“Duh, bentar-bentar harus ngecek anak-anak nih, udah makan apa belum, rumah udah dikunci belum.” Si ibu memang sedang menginap di luar kota selama beberapa hari.

“Memangnya anaknya umur berapa Bu?”

“Udah SMA, tapi tetap aja cerobohnya nggak ilang-ilang.”

(Ternganga lagi).

 

Di lain tempat, ada pula yang seseortu yang komentar gini, “Saya gitu, sih. Yang penting anak-anak belajar. Kerjaan rumah tangga biar saya yang kerjain selama tugas sekolah anak-anak beres.”

(Ternganga #3 karena gimana yah, anak saya yang 6 tahun aja sudah saya suruh ngerjain ini itu biar ibunya sempat….eh… ngikir kuku)

 

Jadi begitulah. Saya menyaksikan sendiri betapa sekolah, meski bisa mengajarkan anak-anak untuk pakai sepatu sendiri, ternyata tidak menjamin anak-anak untuk mandiri, bahkan dalam beberapa kasus merampas kemandirian mereka. Kok bisa? Ya karena sebagian besar waktu anak-anak itu habis di sekolah. Mereka mungkin bisa mengerjakan PR matematika yang rumit, tetapi begitu disuruh menanak nasi bingung mendadak.

 

Waktu yang sempit tak membiarkan anak-anak berusia enam tahun untuk mandi sendiri. Karena kalau mandi sendiri lama banget! Jadilah mereka tak cakap mengurus diri sendiri, apalagi untuk mengurus hal-hal di luar dirinya.

 

Miskin Inisiatif dan Motivasi

Dalam beberapa hal,  kegiatan sekolah justru yang membuat anak-anak tidak bisa mandiri. Jadwal dan kurikulum yang disediakan membuat mereka tak memiliki inisiatif sendiri. Kalau mereka belajar, itu karena disuruh guru. Begitu nggak ada yang nyuruh, ya nggak belajar.

 

Bagi anak-anak yang kurang cocok sekolah, orangtua pasti lebih repot lagi karena anak-anak ini bangun tidur mesti dibangunin, sarapan mesti dibuatin, PR harus diingetin. Waktu yang sempit memaksa ortu untuk melayani anaknya. Kalau nggak dikejar-kejar, disiapin, atau dibantuin anak-anak ini bakal terlambat sampai sekolah atau malah tidak masuk sama sekali. Tugas sekolah juga bakal keteteran.

 

Wajarlah bila ortu masih membantu anak-anak kelas 1 SD menyiapkan buku pelajarannya. Wajar juga (dan bahkan harus) ortu mendampingi mereka belajar. Gak pantes lah anaknya ngerjain PR, ibunya chatting di WA (eh). Makin nggak pantes lagi kalau anaknya ujian, Bapaknya nggak tahu sama sekali. (Eh, bapak-bapak, mbok yao kalau anaknya ujian, Anda nyediain cemilan buat teman belajar atau ikut sholat malam gitu lah, buat dukungan moral).

 

Tetapi sungguh deh, ada yang salah bila anak kelas 3 SD masih disuapin tiap pagi sementara si anak…. mengenakan sepatu.

 

Saya pernah berbasa-basi dengan seseanak kelas enam SD. Karena UN sudah di depan mata, maka saya tanya, “Tanggal berapa ujiannya?”

“Nggak tahu.”

“Belum diumumin?”

“Udah, tapi lupa.”

Hah!

“Hari pertama mata pelajaran apa yang diujikan?”

“Nggak tahu.”

Saya sudah capek ternganga. Ini lho, anak kelas enam, ujiannya sendiri aja nggak tahu kapan.

 

Ortu memang harus terlibat dalam pendidikan anak. Kini keterlibatan ini didorong lebih kuat dengan misalnya, gerakan mengantar anak pada hari pertama sekolah. Suatu gerakan yang pantas diapresiasi. Tetapi kadang orangtua kebablasan melibatkan diri. Dengan kemajuan teknologi komunikasi yang canggih, kini ortu nyemplung sepenuhnya dalam kegiatan si anak. Grup WA ortu murid penuh dengan seliweran pertanyaan, “Tugas buat besok apa ya?” atau “PR yang mesti dikerjain halaman berapa ya?” sampai “Ujian, kapan ujian?” Lah, anaknya ngapain tadi di kelas? Jualan cilok?

 

Kemandirian Berpikir

Bagi saya yang lebih menakutkan daripada ‘nggak bisa menanak nasi pakai rice cooker’ adalah ketakmandirian berpikir. Pada waktunya, semanja-manjanya anak dia bakal bisa mandi sendiri. Cara menanak nasi dapat dipelajari dalam waktu singkat. Namun ketidakmampuan untuk berpikir mandiri ini berbahaya.

 

“Tamat SMA kamu pengin ngapain?”

“Nggak tahu.”

“Pengin kuliah jurusan apa?”

“Apa ya, bingung.”

“Lah kamu punya minat apa?”

“Eh, nggak punya.”

“Terus maunya apa?”

“Terserah Mama saja.”

Ealah wong yang mau menjalani kamu kok terserah ayah ibu. Ini fakta loh, banyak anak SMA yang bahkan tidak bisa memutuskan masa depannya sendiri. Punya bayangan saja tidak. Lulus SMA itu kan rata-rata usia 17 tahun. Rata-rata sudah 12 tahun sekolah. Eh, tetap saja ngambil keputusan buat diri sendiri galau berat.  Mereka terlalu banyak didikte oleh orangtua dan sekolah. Hidupnya sudah biasa diatur oleh orang lain sampai sampai ke menit-menitnya (misal, belajar bahasa Inggris 45 menit persis, mau kamu udah bosan banget atau malah belum puas, jatah belajarmu ya segitu, nggak boleh kurang, nggak boleh lebih). Caranya juga diatur begini begitu, pakai buku itu, nilainya harus minimal segini.

 

Ketidakmandirian berpikir ini berujung pada kegalauan anak tiap kali ia dihadapkan pada masalah yang harus ia hadapi. Di bangku kuliah aja, udah ketahuan kok. Begitu anak dikasih tugas mandiri, mereka bingung cara ngerjainnya. Padahal masalah hidup jauh lebih kompleks; nggak punya duit, diputusin pacar, ditawari narkoba, sampai di-PHK.  Oleng lah sudah karena ortu tak setiap saat bisa mendampingi. Percaya atau nggak, ada lulusan S2 yang masih aja dikasih uang saku sama ortunya. Pekerjaan? Dicariin ortunya juga. Silakan ternganga. Saya sudah lelah ternganga.

 

Tidak Hanya Sekolah Semata

Jelas banyak sekali anak sekolah yang berhasil mandiri. Jadi mengapa sebagian anak sekolah akhirnya bisa mandiri dan sebagian lagi tetap menggelantung di kaki orangtua bahkan sampai mereka punya anak dan jadi orangtua?

 

Saya pikir perkaranya bukan sekolah semata. Kemandirian anak terbangun di atas berbagai macam fondasi, tetapi yang pertama dan utama adalah keluarga. Keluarga perlu melatih anak ketrampilan-ketrampilan dasar sehari-hari. Ortu harus melibatkan anak dalam mengurus rumah tangga. Di luar sekolah, beri kebabasan anak untuk belajar sesuai minatnya, dengan caranya. Beri mereka hak untuk mengatur jadwal mereka sendiri. Biarkan mereka mengambil keputusan, melakukan kesalahan, dan menanggung risikonya. Sehubungan dengan sekolah, sebisa mungkin minta anak untuk menyelesaikan tugasnya sendiri. Andai anak butuh bantuan pastikan anak tahu cara mencari bantuan. Kalau Anda yang memberikan bantuan, bantu dia secukupnya.  Nggak perlulah, sampai kita yang ngerjain PR-nya atau menyimpulkan tali sepatunya. *eh, yang terakhir ini udah bisa ding.

Menulis Lebih Jujur

Tahun ini saya ingin menulis lebih jujur. Dulu, sekitar satu dasawarsa lalu, mudah bagi saya untuk menulis apa yang saya pikirkan dan rasakan. Ketika menulis saya merasa bahagia. Saya tak begitu mempedulikan reaksi pembaca. Toh tulisan saya kebanyakan mengangkat tema-tema ‘hore-hore’, dan biasanya tanggapan yang saya terima juga ‘hore-hore’.

 

Satu dua kali saya membicarakan masalah yang agak serius dan sensitif. Tanggapannya? Pro dan kontra. Banyakan pro-nya karena lingkaran pembaca saya biasanya orang-orang yang punya pemikiran sama. Kalau pun mereka kontra, biasanya mereka menanggapi dengan elegan, yaitu…..tidak berkomentar hehe. Secara prinsip mereka paham betul dengan ujaran, “Aku nggak peduli kamu sosialis atau kapitalis. Selama kamu berlaku baik padaku, aku akan menghormatimu.”

 

Ada sih yang kontra dan mengungkapkan ketidaksetujuan mereka, tapi saya ya woles saja. Pertama karena saya sadar saya tidak bisa menyenangkan semua orang. Kedua –dan ini yang lebih penting—saya tidak mengenal mereka secara pribadi.

 

Perisakan di Medsos

 

Tahun demi tahun berlalu. Terjadilah revolusi yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Revolusi Fesbuk!

 

Kenapa fesbuk? Bukan medsos?

 

Sebelum fesbuk berkibar, sudah ada medsos-medsos lain semacam friendster dan aneka macam blog. Tetapi rasanya tidak ada yang sefenomenal fesbuk yang gelombangnya menyapu demikian dahsyat. Serius.

 

Blog-blog semacam wodpress dan multiply biasanya berisi orang yang gemar menulis dan membaca di samping  memiliki minat khusus lainnya. Yang suka masak biasanya posting resep, yang suka film biasanya posting resensi film dan sebagainya. Tetapi jarang banget ada postingan satu dua kalimat tanpa latar belakang tapi provokatif, semacam, “Anak 17 tahun aja berani nikah, masak kamu yang bangkotan kagak?”

 

Fesbuk seperti tong pembuangan raksasa yang menampung segala macam barang tanpa sortiran. Resep masakan sampai resep meracun mantan tersedia. Foto porno sampai foto kaki tanpa caption juga ada (pancen tujuane umuk sepatu Nike diskonan). Wejangan cinta sampai ancaman penuh kebencian bertebaran. Yang nggak bisa nulis pun bisa ‘nulis’ di facebook meski isinya frasa pendek semacam, “Dasar cabe kebanyakan ngemil terong.” Terjadilah tsunami informasi yang membingungkan.

 

Apabila gejolak fesbuk ini beririsan dengan gejolak sosial, politik dan agama, dijamin bikin puyeng. Satu kalimat bisa menjadi bibit perang dunia karena ditafsir oleh segala rupa orang dengan segala cara. Sak penake dewe pokoke. Yang lebih parah? Penyebarannya yang macam virus ganas. Cepet dan luas banget. Silap satu kalimat di Jogja, bisa heboh ribuan orang dari Aceh dan Papua.

 

Mulai saat itulah saya dilanda ketakutan untuk menulis sesuatu. Satu kalimat yang bikin penulisnya ngetop, pada saat bersamaan mengundang perisakan mengerikan.

 

Sudah saya ceritakan tadi bahwa ketika saya ngeblog dulu dikontra adalah hal biasa, tetapi tak bikin sakit hati atau depresi. Kenapa? Adu argumentasi dilakukan dalam koridor yang santun dan benar-benar tanding pendapat, bukan permusuhan pribadi. Ungkapan “Kau dan aku berbeda, tapi aku tetap menghormatimu,” masih berlaku. Persahabatan tak rusak karenanya. Tak ada caci maki, tak ada serangan terhadap pribadi. Beberapa perbedaan bahkan ditambahi dengan IMHO –in my humble opinion— atau dalam bahasa Jawa, “Yo, iki mung urun rembug seka aku wong biasa sing ora pinter kaya Enstein.”

 

Era sekarang? Wuih ngeri! Ciut nyali saya membayangkan yang terjadi pada Afi Nihaya misalnya. Oke, mungkin dia pernah salah, tetapi siapa sih yang nggak pernah salah? Perisakan yang ia terima? Waduh, kayak dia sudah membunuh orang. Satu dua nasihat yang sampai padanya saya pikir cukuplah jadi pelajaran, tetapi nggak tuh. Semua orang kayak HARUS memberinya nasihat (bonus cacian kadang-kadang). Semua tentangnya dikulik-kulik. Postingan lamanya dibongkar. Gumun saya, kok ya sempat orang-orang ini membuang waktu dan kuota hanya demi menguliti kesalahan orang lain lebih banyak dan lebih dalam.

 

Imbas di dunia nyata

 

Yang lebih men-jiper-kan adalah imbasnya di dunia nyata. Dulu saya tak pernah menakutkan hal ini. Apa pun yang saya tuliskan –selama bukan hate speech atau hoax yang direncanakan—takkan mempengaruhi persahabatan saya dengan teman-teman di dunia nyata. Yang merusak persahabatan adalah tingkah laku yang nyebelin, kayak utang kagak dibayar, embat-embatan pacar, atau minjem mobil kagak mbeliin bensin –berulang kali–. Semacam itulah. Jarang seseorang dibenci karena katakanlah, majang foto kecebong.

 

Tetapi masa sekarang? Dunia bisa terbelah jadi dua hanya karena yang sebagian orang ngucapin selamat hari raya pada umat agama lain DI FESBUK.

 

Beberapa teman mengaku, semenjak Pilpres 2014 lalu berlanjut ke Pilkada DKI 2017, keluarga, pertemanan, dan komuitas mereka terpecah. Bukan sekadar terpecah di medsos –yang memang jadi ajang peperangan- tapi juga di dunia nyata! Kalau ketemu mereka saling melengos. Apaan coba, para pejabat yang diributkan eling kita juga kagak.

 

Duh, ini bikin saya makin mengkeret. Pada dasarnya saya memang ogah berkonflik. Jadi saya lebih menekan perasaan dan menyembunyikan pendapat-pendapat saya. Tetapi ya gitu deh, seperti cinta terpendam yang konon bisa jadi jerawat batu, pendapat terpendam akhirnya juga bikin frutrasi. Apalagi bila itu terjadi pada manusia yang memang cerewet seperti saya.

 

Tak bisa menulis bila tak jujur

Dampak paling berat yang saya rasakan sebagai penulis adalah, saya tak bisa lagi menulis dengan jujur. Pengin ngucapin Selamat Hari Ibu aja maju mundur. Pengin ngeblog tentang terompet tahun baru dari kertas bekas seharga lima ribu perak yang dibeli oleh anak saya, takut dikhotbahi bahwa saya sudah autokafir . Mau nulis soal Ahok, jangan-jangan akun saya dilaporkan lalu saya dicyduk. Yang paling ngeri adalah esoknya saya ketemu bu X yang selama ini ramah pada saya namun tiba-tiba melengos! Duh, itu melengos karena saya lupa balikin rantang Tupperware dia atau dia baper gara-gara nggak saya tag di postingan “Sis mari disorder spreinya” di fb saya? Mumet kan?

 

Tetapi kalau saya tidak jujur saya tidak bisa menulis. Ini serius lho ya. Catet nih buat para penulis atau yang ngaku ingin nulis tapi nggak nulis-nulis :kalau kamu nggak bisa jujur pada dirimu sendiri, kamu nggak bakal bisa jadi penulis sejati. Itu kayak kamu pengin kentut tapi kamu tahan-tahan, kentutmu nggak bakal mulus (oke, ini metafora yang aneh, tapi saya nggak nemu yang lain). Kamu nggak bakal bisa total dalam menulis. Dan hasilnya? Kayak kue yang standar, karena kalau kamu bikin cantik takut harganya mahal dan nggak dapat order, tapi kalau kamu bikin dengan seadanya kamu bakal dicaci orang serepublik. Jadinya ya gitu deh, standar, nggak ada greget.

 

Demikianlah sodara-sodara, mulai hari ini saya coba untuk lebih jujur. Semoga tetap dihargai, kalau nggak dihargai, ya saya tempelin tag harga sendiri dah.

 

 

Ketika Kenyamanan Korban Perkosaan (Masih) Dipertanyakan

Kapan itu saya dikirimi kliping berita yang membuat saya serta merta pengin mengasah golok. Begini potongan beritanya:

 

Mawar (siswi SMK) digerayangi oleh guru honorer bernama Bahtiar saat pelajaran di ruang laboratorium beberapa waktu lalu.

Menanggapi kasus tersebut, pengamat seksologi Universitas Gadjah Mada, Prof Anu PhD (nama samaran, pen) berpendapat, pihak kepolisian tidak boleh asal menjerat pelaku dengan undang-undang pidana. Tapi harus menelaah terlebih dahulu motif pelaku dan korbannya.

“Tidak bisa kemudian langsung menyalahkan pelaku hanya berdasarkan laporan korban. Bisa ditelusuri lebih mendalam. Apakah mereka berdusa sama-sama suka atau ada perasaan. Kalau memang ada perasaan cinta tindakan tersebut belum bisa dikatakan kriminal,” ujar Guru Besar Fakultas Psikologi UGM itu kemarin (5/9).

                Menurut Anu yang menjadi permasalahan hanyalah pada status sosia keduanya. Baik guru maupun siswi yang bersangkutan. Padahal tidak menutup kemungkinan keduanya memang menjalin kasih di sekolah.

                “Wajar saja kalau ada ketertarikan sang guru pada siswinya. Remaja di usia tersebut memang sudah dianggap matang untuk menjadlin hubungan orang dewasa,” katanya.

                “Pihak berwajib juga dapat menanyakan pada korban. Laporan yang disampaikan karena ada desakan norma atau tidak. Atau ada indikasi dia terdesak dengan status pelaku yang sudah beristri sehingga  memilih untuk melaporkan,” jelas Anu.

                Sebagaimana informasi pihak kepolisian, korban melaporkan tindakan tak senonoh yang dilakukan pelaku dua bulan sejak kejadian. Hal itu menguatkan analisis Anu kemungkinan adanya perasaan suka sama suka antara korban dan pelaku. Apabila si korban merasa tindakan pelaku merupakan perlakuan yang salah seharusnya melaporkan sejak awal dia mengalami pelecehan.

                “Simpel saja, kalau memang tidak suka perempuan harus berani menolak. Jangan mau tidak mau.

 

Gimana? Anda pengin ngunyah cangkul? Serius, begitu baca ini, perasaan saya bercampur aduk, antara sedih, jengkel, dan pengin nonjok.

 

Bila ada kasus perkosaan, kata beliau, jangan cuma tanyakan motif pelaku. Tanyakan pula motif korban. Astaghfirullah! Motif korban! Apabila Anda kemalingan, Prof, saya harap polisi juga menanyakan motif Anda sebagai korban. Apa motif Anda jadi korban pencurian? Jangan-jangan cuma pengin femes. Jangan-jangan Anda suka dimalingi.  Suka sama suka dengan malingnya gitu.

 

Ish, kan perkosaan beda sama pencurian. Jangan dibandingkan dong. Yup, memang betul. Kita tidak bisa menyamakan perkosaan dengan kejahatan biasa lainnya. Perkosaan (termasuk pelecehan dan pencabulan) adalah sebuat kejahatan yang kompleks dan tidak bisa dipisahkan dari stigma sosial yang juga sama rumitnya. Tetapi justru karena stigma sosial itu, tak banyak korban perkosaan yang melapor pada polisi.

 

Lebih parah lagi, korban dan pelaku sering ‘memilih’ jalan damai dengan MENIKAH. Itu dianggap sebagai tanggung jawab si pelaku. Istighfar dua kali. Dulu pernah ada berita yang menceritakan pelaku perkosaan bersedia bertanggung jawab dengan menikahi korbannya. Banyak komentar yang memuji si pelaku, membuat saya pengin ngruwes laptop.

 

Wedyan kik! Penak banget dong si pelaku. Kalau dia ingin menikahi si X, tapi si X nggak mau, perkosa saja, terus nikahi. Setelah itu dia bakal sah  ‘memperkosa’ si korban sepanjang hidupnya. Sudah jadi istrinya gitu lho. Ah, Mbak ini, nggak bisa lah disebut perkosaan kalau antar suami-istri. Ehm, sebenarnya bisa. Sangat bisa. Jadi bisa bayangin kan, betapa horornya hidup si korban yang ‘terpaksa’ menikahi seorang penjahat yang telah menyakitinya dan membuatnya trauma. Lagipula, apa jadinya pernikahan yang dibangun dengan landasan kejahatan semacam itu?

 

Stigma Sosial

Di Indonesia sungguh tak mudah bagi korban perkosaan untuk melapor. Mau ngaku nggak perawan aja susah setengah mati. Belum tentu lho korban tahu cara melapor. Di kantor polisi, dia juga harus berhadapan dengan prosedur yang belum tentu dia mengerti. Apalagi polisi tentu saja bukan orang yang dia kenal. Ketika seseorang barusan dilecehkan secara seksual, sungguh tidak mudah mengaku bahkan pada orang dekatnya. Apalagi mengaku pada orang asing, yang belum tentu simpatik pula.

 

Sudah susah-susah melapor, di persidangan, dia harus bersaksi, mengurai kembali kengerian perkosaan yang pasti ingin ia lupakan seumur hidup. Kadang kala ia harus bertemu dengan si pelaku lagi. Astaga, tak terbayangkan sakitnya.

 

Polisi dan hakim juga sering kali tak punya empati. Bukan rahasia lagi bila pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan tolol macam, “Mbak ikutan goyang nggak?” “Kok bisa diperkosa berkali-kali kalau nggak suka?” “Kamu menikmati nggak?”  “Kamu pakai baju apa?” “Kamu mabuk nggak?” Seolah baju itu berkorelasi dengan perkosaan. Seolah kalau kamu mabuk maka kamu boleh diperkosa. Terkadang pertanyaan itu dilemparkan sambil tertawa, dengan nada bercanda atau melecehkan. Gosh.

 

Lapor segera, emang bisa?

Lucky, novel memoir karya Alice Seabold menceritakan kisah penulisnya sebagai korban perkosaan. Ia diperkosa dan dihajar saat ia pulang dari kampus pada suatu senja. Yang paling saya ingat dari novel itu adalah bagaimana ia segera pergi ke klinik untuk memeriksakan diri dan melaporkan kejahatan yang menimpanya. Sudah jelas, peristiwa  itu tidak terjadi di Indonesia.

 

Di Indonesia, menjadi korban perkosaan seakan sama hinanya dan sama bersalahnya dengan pelaku kejahatan (dan kadang justru pelakunya dianggap tak bersalah karena alasan si korban memang memancing-mancing.) Apa yang bakal terjadi bila seluruh dunia tahu bahwa dia sudah ‘kotor’? Meski mbuhlah, di mana kotornya. Ada cerita korban perkosaan yang justru dibully oleh teman-temannya setelah mengaku.

 

Ancaman dan manipulasi juga bisa jadi alasan korban tidak melapor. “Kalau kamu lapor, akan kubunuh kamu.” Atau, “Kalau kamu lapor akan kucemarkan namamu,” sudah menjadi senjata yang efektif. Apalagi bila si korban tahu persis keluarganya pun akan malu berat—plus marah padanya– bila tahu ia sudah diperkosa.

 

Manipulasi juga membuat korban tidak tahu bahwa ia telah menjadi korban. “Kita begini kan karena saling sayang.” Itu bisa menjadi kalimat manis yang membuat korban lengah. Bisa juga kalimat ini, “Kalau kamu mau, nanti kubelikan hape, lho.”

 

Yang paling parah, seringkali korban nggak tahu kalau dia sudah dilecehkan atau malah diperkosa! Ini terutama terjadi pada anak-anak. Serius nih.

 

Waktu SD, saya pernah digrepe-grepe di angkot. Penumpang sebelah mengelus-ngelus paha saya (untung saya pakai celana jeans, jadi dia tidak menyentuh kulit saya). Saya bingung sekali, ini orang ngapain. Saya tidak merasa sakit atau malu atau marah, saya hanya BINGUNG! Serius. Saya sama sekali belum tahu soal nafsu seksual. Nah, bisa bayangkan bila ada anak-anak jadi korban perkosaan. Kadang mereka sadar setelah mereka remaja atau dewasa. Bertahun-tahun kemudian. Terus, disuruh lapor gitu?

 

Makin mbulet kalau pelakunya orang dekat. Paman sendiri atau lebih parah, bapaknya sendiri. (Ini benar-benar terjadi).

 

Seringkali pula pelakunya adalah orang yang berkuasa; guru, pejabat, pemuka agama, sutradara kondang (udah dengar kan skandal Harvey Weinstein?), atau dosen pembimbing skripsi. Masih ingat kasus perkosaan mahasiswa oleh seniman terkenal? Dan bagaimana ia tak berani buka suara bertahun-tahun lamanya? Saya memaklumi karena… lah gimana, masa depan si korban ada di tangan si pelaku yang membimbing tugas akhirnya. Senimannya masih bebas bergentayangan by the way, tanpa rasa malu.

 

Melapor, andai pun bisa, kadang juga tak menghasilkan apa-apa. Apalagi bila si korban tidak mengenal pelaku sama sekali. Ia diperkosa di jalanan misalnya. Njuk piye? Pun andai pelaku ketahuan, kadang juga tak ada hukuman. Seorang dosen universitas ternama dilaporkan atas perbuatan melecehkan mahasiswinya. Si pelaku terbukti bersalah… dan dia bebas-bebas saja. Masih berkeliaran di kampus. Tak ada penjara, tak ada pemecetan. Dan si korban masih berpeluang ketemu pelaku di kampus. Njuk piye?

 

Ini masih ditambah potensi masyarakat mencela si korban. “Salahnya sendiri gampangan.” Atau “Situ sih, mau-mau aja disuruh datang ke kantornya sendirian.” Dan kalau ada cowok mendekati  si korban, serta merta dia dikasih peringatan, “Cewek yang kamu dekatin itu sudah nggak ting-ting lho.”

 

Tinggal nolak, emang bisa?

Profesor yang saya kutip tadi menyatakan perempuan harus dengan tegas MENOLAK bila tidak mau jadi korban perkosaan. Grrrkkkhhhhhh. Kali ini saya nggak cuma bertanduk, tapi juga bertaring, bercakar, dan menyemburkan api.

 

Pak, kalau Anda jadi korban perampokan, harap dengan tegas katakan pada si perampok, “Jangan! Saya NGGAK MAU dirampok. Pokoknya NGGAK MAU.” Dengan begitu saya yakin si perampok bakal balik badan dan nggak jadi merampok Anda.

 

Perjalanan masih panjang

Belum selesai saya menulis ini, beredar wawancara Kapolri Tito Karnavian oleh BBC Indonesia tentang kejahatan seksual. Begini petikan beritanya:

Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menyatakan dalam kasus pemerkosaan, terkadang polisi harus bertanya kepada korban, apakah merasa baik-baik saja setelah diperkosa dan apakah selama pemerkosaan merasa nyaman.

“Pertanyaaan seperti itu yang biasanya ditanyakan oleh penyidik sewaktu dalam pemeriksaan, untuk memastikan, apakah benar korban diperkosa atau hanya mengaku diperkosa, untuk alasan tertentu,” jelas Tito.

Dalam percakapan dengan BBC Indonesia, Jenderal Tito mengatakan bahwa Indonesia saat ini ada di persimpangan jalan, sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi kebebasan, membuat terkadang polisi dihadapkan pada dilema antara menegakkan hukum dengan menjaga ketertiban sosial.

Gubrak! Aduh, saya doakan anak/istri/saudara  orang-orang yang berpikir untuk bertanya, “Apakah kamu nyaman saat diperkosa?”  tidak pernah diperkosa. Moga-moga mereka juga nggak pernah diperkosa.

Ish, dia laki-laki, mana mungkin diperkosalah. Oh, jangan salah, laki-laki juga bisa diperkosa. Dan andai beneran mereka jadi korban mudah-mudahan nggak ada nanyain apakah mereka nyaman selama atau sesudah peristiwa itu.

Nek nyaman ki njuk ngapa? Segelintir korban dimanipulasi sedemikian rupa hingga mereka merasa nyaman (terutama anak-anak), tapi mereka tetap korban.

Yap, jalan masih panjang. Bila orang-orang yang berkedudukan tinggi saja masih mikir bahwa diperkosa bisa enak, duh, mungkin masih butuh berapa dekade lagi sebelum kita bisa memperlakukan korban dengan adil.

“Eh, gimana kalau si korban memang mancing-mancing, menjebak si pelaku?”

Saya ingat kutipan yang saya baca entah di mana. Perkosaan tidak pernah jadi kejahatan yang tidak disengaja.  Jadi, kalau ada perempuan atau laki-laki yang mancing-mancing Anda untuk jadi pelaku, Anda selalu bisa menolaknya.

 

Plot Hole; Lubang-Lubang Kisah yang Harus Kita Hindari

Sudah lama (pakai banget) saya nggak nulis soal penulisan. Nah, berhubung semalam saya barusan menonton pertunjukan drama remaja yang alurnya ‘euh’ banget, saya jadi tergelitik buat nulis lagi. Pertunjukan drama itu sendiri bagus, dan bukan itu fokus saya di sini, melainkan pengaluran ceritanya. Meski teknis penyajian drama beda dengan teknik penyajian novel, urusan plot pada dasarnya tetap sama. Oke, mari kita bahas plot drama tanpa judul yang sudah saya sebut-sebut itu.

 

Begini alur ceritanya:

Seorang cewek bernama Ica (sebut saja begitu karena saya lupa namanya) bertemu dengan seorang pengamen bernama Doni. Singkat cerita mereka saling jatuh cinta. Nyaris tiap hari mereka bertemu di perempatan tempat Doni mengamen. Doni menyanyi dan Ica menunjukkan buku yang selalu ditentengnya (buku harian? Tidak jelas di sini). Hari-hari mereka begitu indah.

 

Suatu hari Doni berkelahi dengan geng berandalan. Ica begitu kecewa melihat perkelahian itu dan menyangka Doni adalah pemuda begajulan. Ia pun pergi meninggalkan Doni. Ia sempat sekali berkencan dengan laki-laki lain. Tapi ia tak bahagia. Ia berkubang dalam nelangsa. Doni begitu juga, ia mencari Ica ke mana-mana. Tak berhasil menemukan kekasih hati, ia sengsara dan sering membuka-buka buku Ica yang kebetulan terbawa olehnya.

 

Tak kuat menanggung rindu, Ica akhirnya kembali ke tempat mereka biasa bertemu. Tak berapa lama waktu kemudian, Doni ke sana juga. Begitu bersua, mereka berpelukan bahagia lalu menari bersama. Di tengah-tengah tarian, Ica pingsan. Doni kalut, mencari bantuan, tapi tak didapatnya. Lalu ia membongkar tas Ica untuk mencari nomor kontak yang bisa dihubungi. Di luar dugaan, ia justru menemukan surat yang ditujukan untuknya. Doni pun membacanya di depan tubuh Ica yang terbaring kaku. Isinya seperti ini, “Dear Doni, bila kamu membaca surat ini, berarti aku telah pergi ke tempat yang jauh. “ Selanjutnya lewat surat itu Ica berterima kasih pada Doni atas hari-hari indah yang mereka lalui bersama. Ica tak punya kerabat satu pun hingga sangat senang mendapat teman seperti Doni. Ica juga menyatakan ia sudah tak kuat lagi menanggung sakit kanker yang ia derita selama ini. Tamat.

 

Lubang-lubang alur

Sudah tahu ya di mana lubang cerita di atas? Banyak lho, walau pun sepintas cerita ini runtut. Sebenarnya cerita ‘romantis kronis’ yang melibatkan penyakit mematikan adalah gejala normal di kalangan penulis remaja. Kesengsaraan (patah hati, musibah, penyakit) punya daya pikat sendiri bagi remaja. Tetapi hanya terbatas pada sisi romantismenya saja, tidak mempertimbangkan sisi praktis atau logisnya. Ngaku deh saya dulu juga begitu. Adegan cowok berlari menembus hujan demi mengejar cewek terasa begitu dramatis walau dalam kenyataannya tidak realistis. Begitu pula adegan kecelakaan di mana ada cowok sekarat yang membisikkan kalimat, “I love you,” pada cewek pujaannya yang memeluknya dengan tabah. Pada kecelakaan di dunia nyata, kebanyakan sih si korban pingsan atau sibuk mengaduh dan pasangannya gemetaran ngeri (atau ikut pingsan).

 

Dalam cerita di atas plot hole pertama adalah Ica begitu saja membenci Doni hanya karena Doni berkelahi dengan geng berandalan. Dia tidak bertanya mengapa Doni berkelahi. Plot hole kedua, kok bisa Ica menyangka Doni anak berandalan juga hanya karena dia berkelahi dengan anak berandalan? Alasan perkelahian itu sendiri tidak jelas.

 

Plot hole berikutnya adalah Doni yang tak tahu ke mana mencari Ica saat perempuan itu menghilang. Masak berteman lama tapi nggak tahu apa-apa soal temannya; di mana rumahnya atau  di mana tempat kerjanya. Memang tidak terlihat hape dalam cerita ini, jadi bisa saja cerita mengambil setting tahun 60an, jadi it’s okelah nggak berusaha mengontak lewat hape, but setidaknya dia tahulah di mana Ica tinggal. Di situ digambarkan Doni membaca-baca buku Ica, tapi apa isinya juga nggak punya peran dalam kisah itu selain benda kenangan.

 

Next, tentu saja kematian Ica yang mendadak padahal dia sakit kanker. Masih sempat menari pula sebelum mati. Halooo, sudah pernah melihat orang dengan kanker? Yang jelas bila sudah sampai tingkat parah, bangkit dari tempat tidur pun nyaris tak mungkin. Meskipun kanker ada yang menjalar dengan cepat, bila kita berteman dengan pengidap kanker mestinya kita tahu dong dari gejala fisik mereka. Lah, ini kagak.

 

Yang terakhir, kok bisa temannya sekarat Doni malah tenggelam membaca surat? Bukannya histeris atau minimal bawa dia ke rumah sakit. Cari ojek online kek bila nggak ada yang mau nolongin atau becak bila memang setting-nya zaman old. Percaya deh, di situasi krisis seperti itu, otak kita bakal mampet dan nggak mampu baca apa pun.

 

Tanyakan dan tanyakan lagi pada diri sendiri

Nggak usah muluk-muluk riset atau tanya ahli, dokter spesialis dalam kasus di atas, untuk membuat plot  yang masuk akal. Yang pertama dan utama adalah bertanya pada diri sendiri dan membayangkan situasi, “Kalau aku sakit, apa yang akan kulakukan?” atau “Kalau temanku sakit berat, apa yang akan terjadi padanya?”  Apa yang akan kurasakan kalau temanku menghilang? Apa akan kulakukan? Akankah aku mencarinya? Ke mana?

 

Bagus memang kalau disertai riset menyangkut kasus tersebut, tapi jika tidak kita seharusnya tetap bisa pakai logika paling sederhana.

 

Selamat menulis.

 

 

Para Pembenci

Suatu hari saya melihat video di youtube yang menampilkan Dylan Marron, seorang penulis, penampil, dan pembuat video terkenal. Saat itu saya tidak tahu dia terkenal. Sebetulnya saya bahkan belum pernah mendengar namanya. Tautan yang berada di wall facebook saya itu saya klik karena saya tertarik melihat judulnya, “Conversation with People Who Hate Me.” (https://www.youtube.com/watch?v=ls2mTKcBjrI) Jadi si Dylan ini sengaja bercakap-cakap dengan orang yang membencinya. Sebagai seleb Dylan tentu saja punya banyak pembenci. Percayalah, ketenaran dan kebencian itu berjalan seiring.

 

Anyway video itu memberikan jawaban keheranan plus mengkonfirmasi dugaan saya mengapa pada saat ini banyak sekali kebencian, terutama di medsos. Mengapa orang-orang rela menghabiskan energi dan waktu untuk membenci, bahkan pada seseorang tidak mereka kenal sama sekali? Orang-orang saling memaki di medsos seolah mereka benar-benar barusan senggolan motor di jalan. Seriously. Saya bertanya-tanya andai orang-orang yang bertengkar itu kebetulan ketemu di warung kopi, lalu ngobrol tanpa mengetahui identitas dunia maya masing-masing, apakah mereka juga akan saling membenci? Bisa jadi tidak. Bisa jadi mereka justru tertawa bareng dan saling menawari rokok.

 

Pembenci Seleb

Britney Spears punya ratusan hater. Di medsos tentu saja. Saya nggak tahu kalau di dunia nyata. Bisa jadi para hater ini malah jingkrak-jingkrak dan minta selfie kalau ketemu beneran dengan si seleb cantik ini. Kalau pun mereka tetap membencinya, saya sangsi mereka bakal meneriakkan kata-kata kasar di depannya seperti yang mereka lakukan di media sosial. Takut ditangkap satpamlah!

 

Memang, para hater ini nggak setengah-setengah –setidaknya di dunia maya–, mereka sampai bikin akun atau thread khusus untuk meluapkan kebencian mereka pada Britney. Luang banget ya. Saya jangankan bikin akun baru, wong akun yang ada aja jarang saya kasih posting. Yang mengikuti dan mengomentari akun kebencian itu  juga sama luangnya, saya rasa.  Sempat gitu lho ngomentari kelakuan artes. Apa pun bisa jadi bahan celaan; lagunya, kisah cintanya, sampai bajunya yang terlalu seksi, yang saya pikir tetap dicela bahkan andai ia pakai hijab.

 

Saya penasaran, kalau mereka benci kok ya sempet-sempetnya memperhatikan baju seleb yang mereka benci. Kalau saya tidak suka lagu dangdut (tidak suka lho, bukan benci), yang saya lakukan simpel saja: nggak ngapa-ngapain. Saya tidak menyetel acara dangdut di TV. Kalau pas nonton TV dan kebetulan acara dangdut ditayangkan, saya tinggal pindah saluran atau matikan TV. Jadi kalau ditanyain gimana acaranya, saya nggak bakal bisa jawab, wong saya nggak nonton. Jadi kalau kamu nggak suka sama mbak Britney misalnya, hal yang logis adalah: nggak usah nonton acaranya atau ndengerin musiknya. Gampang banget. Toh Britney bukan tetanggamu dan kamu nggak bakal ketemu dia di arisan ibu-ibu RT.

 

Sama seperti pembenci presiden, pembenci ulama, pembenci entah siapa di dunia maya, saya yakin sebagian besar para pembenci seleb itu belum pernah ketemu si seleb. Mereka tidak tahu si seleb, apalagi kenal. Saya yakin si seleb tidak pernah ngutang sama mereka, tidak pernah nyamber jemuran, apalagi gebetan mereka. Intinya si seleb tidak pernah berbuat sesuatu yang jahat pada mereka, tapi tetap aja mereka benci. Alasannya bisa sangat tidak masuk akal: habis dia lenjeh sih. Lah, tahu lenjeh dari mana? Kalau memang beneran lenjeh, terus ngapain? Tuh, teman lo lenjeh, kok elo nggak benci dia? “Ya bedalah. Dia kan teman. Tiap hari ketemu. Biar lenjeh, dia baik kok, suka nraktir gue.” Oh. Alasan bisa dicari, sampai-sampai para pembenci Jokowi punya alasan yang absurd sekali: dia Yahudi. Ya ampyun, spicles saya.

 

Antonim Cinta Bukanlah Benci

Saya ingat menyaksikan Rhenald Khasali di sebuah talkshow. Dia mengisahkan masa kecilnya yang unik, di antaranya saat ia menjawab pertanyaan guru SD-nya, “Apa lawan kata cinta?” Rhenald menjawab, “Tidak cinta,” bukan benci. Bisa jadi dia disalahkan atas jawaban tersebut, tapi sungguh lho menurut saya dia benar. Dia menjelaskan, kalau saya tidak cinta dia bukan berarti saya benci dia.

 

Saya merasakan hal seperti itu. Antara benci dan cinta ada spektrum yang sangat luas dan rumit. Saya tidak suka pada musik dangdut, bukan berarti saya membencinya. Bahkan kalau ada acara joget dangdut, saya kadang ikutan (ngaku deh). Saya tidak suka pada Bu A, bukan berarti sama membencinya. Begitu pula bila saya suka sama Jokowi, bukan berarti otomatis saya benci Prabowo dan SBY. Tidak. Saya tidak membenci mereka.

 

Entahlah, saya lumayan sibuk hingga tak sempat membenci apa-apa, siapa-siapa. Jangankan membenci Opick atau Caesar, membenci orang yang ngemplang, ndak bayar utang saja saya tak bisa. Serius. Saya kesal pada si pengutang. Kesal lho, bukan benci.  Kesal bukan karena utang saya nggak dibayar, tapi karena saya ditipu. Dulu ngakunya kepepet buat bayar ini itu… tapi ternyata, oh ternyata.

 

Toh seiring waktu kekesalan saya memudar. Kenapa? Karena di kebanyakan waktu saya terlalu bahagia untuk merasa kesal. Gimana bisa kesal saat saya melihat tingkah anak-anak saya yang lucu. Di lain waktu saya tenggelam dalam tulisan saya hingga tak sempat memikirkan hal lain. Di kesempatan lain, saya  ngobrol nggak mutu tapi seru bersama sahabat-sahabat saya. Lah kok kober mengingat-ingat kekesalan saya pada orang lain. Saya juga tak membenci si pengutang karena nyatanya, kalau ketemu saya bahkan tak sanggup mengata-ngatainya, menuding-nudingnya, atau melemparinya dengan telur busuk (ke mana pula mencari telur busuk, see, kan, membenci itu butuh energi banyak sekali). Ada banyak sisi lain dari si pengutang yang membuat saya tak bisa membencinya begitu saja, hanya karena satu masalah utang.

 

Mengapa Membenci

Lalu kan saya jadi mikir bagaimana seseorang bisa membenci sebegitu rupa? Dari video Dylan tadi saya mengerti bahwa orang bisa membenci karena banyak alasan yang bisa jadi nggak ada hubungannya dengan orang yang dia benci itu.

 

Ada seseorang yang mengaku dia mengirimkan hateful messages pada beberapa orang tenar sekaligus. Jadi, dia memilih target kebenciannya dengan acak saja. Ada pembenci yang bilang dia di-bully di sekolah (dan tentunya jadi penuh amarah dan kebencian, meski bukan pada Dylan). Beberapa orang membenci Dylan karena tidak suka pada apa yang dia katakana dan pemikiran-pemikirannya. Tapi yang paling menarik, deberapa di antaranya berkata mereka tak benci lagi pada Dylan setelah percakapan itu. Satu kali percakapan singkat dan blas, tak ada kebencian. Mereka bahkan tertawa-tawa dalam percakapan itu.

 

Ungkapan bilang, kalau kamu cuma punya cabai, kamu cuma bisa bikin sambel alias pedes melulu hidupmu. Kalau kamu tak punya kebahagiaan atau cinta kasih, mana mungkinlah kamu ngasih hal-hal manis itu.

 

Beberapa orang memang punya tragedi hidup yang baik. Mungkin mereka pernah dilecehkan dan tak sanggup mengungkapkannya. Seorang anak mungkin tumbuh dalam keluarga pemarah dan tiap kali dia kesal, dia memaki-maki karena tahunya cuma itulah cara menyalurkan amarah. Media sosial adalah media yang empuk ini karena kita bisa menyamar di sini, tampil tanpa identitas, dan bebas memaki-maki tanpa digamparin langsung. Seseorang mungkin hidup dengan beban yang berat dan mudah iri saat melihat orang lain seolah-olah hidup tanpa beban. Seolah-olah saja, wong kita nggak tahu apa yang ada di balik penampilan gemerlap mereka. Kalau berpikir begitu, jatuh iba saya pada mereka. Saya tahu betapa nggak enaknya memiliki amarah itu. Kadang saya marah –tentu saja, saya manusia—dan pada saat yang jarang itu pun saya sudah cukup tersiksa. Lah, bagaimana nasib mereka yang marah terus-menerus kayak para pembenci itu?
Saya berharap, entah bagaimana, kita semua berjalan menuju dunia yang lebih damai, dengan lebih sedikit kebencian. Bagaimana pun kecilnya, kebencian selalu berpotensi menjadi besar. Dan meski bermula di dunia maya, kadang kala kebencian bisa merembet ke dunia nyata.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Anak ‘Nakal’: Salah Siapa Sebenarnya

“Ibu dituntut (sekian milyar) oleh anak kandungnya sendiri.”

“Anak aniaya ibu kandung.”

“Manula terlantar di panti jompo, tak pernah dijenguk anak-anaknya.”

“Anak memaki-maki ibunya yang sakit di depan umum.”

 

Setiap membaca berita-berita semacam itu, ngenes, prihatin, geregetan bercampur. Kok bisa sih, seorang anak kurang ajar banget pada orang tuanya sendiri? Bila kebetulan berita semacam itu beredar di medsos, komentarnya pasti gondrong dan nadanya mirip-mirip, “Kasihan banget si ibu.” Atau “Anak durhaka. Nggak ingat pengorbanan ibunya dulu?” Atau “Astaghfirullah. Nggak takut sama neraka?” Atau, “Anak-anak zaman sekarang memang keterlaluan.” Intinya sih, selalu menyalahkan si anak. (Lha, mau nyalahin siapa lagi, sih? Wong jelas anaknya yang  salah).

 

Benarkah Ini Salah Anak?

Saya pernah baca kisah seorang pegiat LSM anak yang punya masa kanak-kanak yang kelam. Sewaktu masih kecil ia sering dikasari oleh ayahnya yang kebetulan dosen di IAIN (IAIN mana saya tak begitu ingat). Ia menjadi korban kekerasan fisik, verbal, dan psikologis yang dilakukan sang ayah. Ia tak berani membantah karena si ayah dan guru agama mendengungkan dalil bahwa menaati orang tua wajib hukumnya.   Yang tak pernah didengungkan tentu saja, bahwa orang tua punya kewajiban mendidik dan mencintai anak-anak mereka. Syukurlah ia berhasil lepas dari lingkaran trauma dan akhirnya menjadi pembela anak-anak.

 

“Anak saya itu… duh, habis kesabaran dibuatnya. Nuakal banget.”

“Nggak tahu kenapa anak saya bisa jadi berandalan kayak gitu. Saya marahi juga nggak kapok.”

“Saya sudah nyerah soal anak saya. Nggak bisa diatur. Dikasih tahu juga nggak digubris.”

 

Keluhan-keluhan semacam itu tak asing, bukan? Orang tua memang sering mengeluhkan anaknya. Wajar. Tapi sungguh lho, kadang saya ingin membalikkan pertanyaan, “Lha kok bisa?”

 

“Anak saya baru lima tahun, tapi udah kecanduan gadget.” Lha kok bisa?

“Anak saya yang SD itu berani lho ngomong kasar sama saya.” Lha kok bisa?

“Anak saya ikut geng motor.” Lha kok bisa?

 

“Generasi sekarang itu memang payah. Manja. Malas. Tak punya sopan santun.” Entah bagaimana generasi terdahulu selalu merasa generasi setelahnya lebih buruk daripada generasi mereka. Ini tak selalu benar. Tapi benar atau salah, saya pikir generasi kita bertanggung jawab untuk mendidik generasi sesudahnya. Jadi kalau generasi anak-anak kita ‘payah’, mungkin kitalah yang payah sebagai orang tua. Kalau murid-murid ‘bodoh’, bisa jadi yang salah adalah gurunya yang tak piawai mengajar.

 

Terpengaruh Teman-Temannya

Seorang bapak mengeluhkan anaknya yang mogok sekolah dan malah berendang-berendeng sama geng motor modifikasi. Si anak bahkan menghabiskan sekian juta demi memodifikasi motornya. Tapi, si Bapak walau mengeluh-ngeluh ya tetap ngasih. Dan si bapak bilang, “Dia itu terpengaruh temannya.”

 

Terpengaruh teman. Terpengaruh TV. Terpengaruh internet. Apalah. Pengaruh luar ini sering banget dijadikan kambing hitam para orang tua bila anaknya bermasalah. Dalam bukunya Getting your Kids to Say No in the 90s when You Said Yes in the 60s, Victor Strasburger, si penulis, menyatakan, semua itu bukan alasan. Menurutnya, kalau anak kita katakanlah terpengaruh teman-temannya pakai narkoba, itu salah kita juga sebagai orangtua yang membuat si anak mudah terpengaruh. Mengapa anak kita tak berani menolak? Dan bahkan, mengapa anak kita bisa berteman dengan orang-orang yang salah? (anyway, saya sendiri pernah berteman dengan ‘orang yang salah’, tapi akal sehat kemudian menuntun pada fakta  bahwa ada sesuatu yang salah pada teman yang awalnya saya kagumi itu).

 

Jangan-jangan dari kecil kita memang selalu menuntut anak kita untuk manut dan manut. Bisa jadi kita tak pernah memberi kesempatan si anak untuk berani menolak dan berani berargumen dengan ortunya yang berakibat ia pun tak bisa bilang ‘tidak’ pada rekan sebayanya saat mereka menawarkan hal-hal yang tak ia suka.

 

Bagaimana pun Kita Punya Andil

 

Kalau anak kita hendak merampas harta kita gara-gara disuruh oleh suami atau istrinya, salah kita juga karena membuat si anak tak bisa memilih pasangan dengan benar atau ketika pasangannya mengajaknya berbuat tak benar, ia tak berani menolak.

 

Saat mendengar berita anak durhaka, terkadang simpati saya bercampur dengan rasa penasaran. Kok si anak bisa durhaka? Mengapa si anak ‘menelantarkan’ orang tuanya di panti jompo dan tak pernah menengoknya sama sekali meski mereka tinggal dekat dari situ? Tak ada kedekatan di antara mereka yang membuat si anak rindu?  Jangan-jangan memang tak ada kenangan manis tentang orangtuanya yang melekat di memori si anak?

 

Mengapa si anak memaki-maki ibunya yang sakit di depan orang banyak? Adakah si orang tua mengajarkan si anak untuk tidak memaki? Untuk sabar dan berwelas asih? Adakah si orang tua memaki si anak waktu kecil dan serba tak sabar padanya? Apakah si anak punya kebiasaan itu karena mencontoh orang tuanya?

 

Bagi saya interaksi antar individu pada dasarnya adalah aksi dan reaksi. Apa yang kita beri akan kita dapatkan balik, kok. Termasuk rasa hormat. Tidak, kita nggak bakal dapat rasa hormat dari anak dengan bersikap galak atau ancaman api neraka. Kita akan dapatkan rasa hormat dari anak, bila kita menghormati mereka. Kita dapatkan cinta kasih, bila kita mencintai dan mengasihi mereka.

 

“Ah, ada tuh teman yang udah aku baikin, eh tahunya nusuk dari belakang.” Yup, selalu ada. Tapi berapa jumlahnya? Saya kok yakin yang seperti itu cuma satu dua di antara yang banyak dan baik.

 

Walau Memang Tak Sesederhana Itu

Meski pengamatan saya membuktikan sebagian besar orang tua yang baik akan menghasilkan anak yang baik, saya sadar benar ada faktor X yang membuat hidup ini tidaklah hitam putih (dan itulah yang membuat hidup ini misterius sekaligus menarik).

 

Ada orang tua yang sudah mendidik anaknya dengan sangat baik, dengan penuh kasih sayang dan segala kesabaran, tapi eh, si anak tetap saja ‘membelok’. Sebaliknya, ada orang tua preman yang yah, sebenarnya nggak pantes jadi orang tua, tapi entah bagaimana, anaknya malah ‘ndalan’.

 

Ada ortu yang ‘sangat kanan’, eh anaknya jadi ‘sangat kiri’ dan sebaliknya. Ya sudah, yang begini ini memang tak bisa kita tolak. Mari kita usahakan apa yang mampu kita usahakan. Sayangi anak-anak kita dan kalau mereka ‘gimana-gimana’, mari kita berefleksi, jangan-jangan mereka begitu karena kita begini.

Ironi Pendidikan

Kompas hari ini (3 Mei 2017) memuat artikel pendidikan –dalam rangka hari pendidikan—yang mengabarkan bahwa sekolah-sekolah kita masih bergelut dengan masalah klasik, kemelaratan fasilitas –boleh lah kita sebut begitu–. Salah satu yang diangkat dalam artikel ini adalah fenomena satu ruangan yang dipakai untuk anak-anak dengan tingkat kelas yang berbeda.

Berikut kutipannya:

Hari itu, untuk kelas III berlangsung pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dibawakan oleh Victoria Mili, salah seorang guru di sekolah tersebut. Pada saat yang sama, di kelas IV, berlangsung pengajaran IPA yang dibawakan Ayu Plesila, juga guru du sekolah itu.

 

Dengan kondisi ruang yang tak terpisah, perhatian para murid di kedua kelas tersebut terbelah.

Begitulah penggambaran situasi di sebuah sekolah dasar di Kalimantan Barat. Saya geregetan membacanya. Bukan minimnya sarana yang bikin saya geregetan (walau ya, itu bikin saya prihatin), tapi karena di sekolah internasyenel di kota besar lagi ngetren metode kelas multi-ages alias siswa dari tingkatan yang berbeda digabung jadi satu dan belajar bareng. Apa ndak ironis itu? Yang sini, penginnya belajar sendiri-sendiri, tapi terpaksa bergabung. Yang sana, bisa belajar sendiri-sendiri, tapi dengan sukarela bergabung agar anak bisa bekerja sama dan bergaul dengan anak-anak berbagai umur.

Ironi Pendidikan

Saya ingat salah satu lawakan komedian tunggal Arie Kriting yang kurang lebih seperti ini, “Katanya ada sekolah hebat di Jawa, yaitu sekolah alam. Kayak apa sekolah alam itu? Sekolahnya nggak ada gedungnya. Lha, di daerah saya (Indonesia Timur) banyak sekolah nggak ada gedungnya.”

Piye kalau begitu itu?

TK X getol banget memborbardir anak didiknya dengan calistung. Eh, ada SD elit yang bahkan  membiarkan anak kelas satu dan dua belum bisa baca.  Lalu yang bener yang mana sih?

SD Z bangga betul dengan lab komputernya. Sampai-sampai di balihonya, foto lab komputer dengan komputer jentrek-jentrek dipampang besar-besar. Eh, lha kok di SD di Silicon Valley sono, tempat sekolahnya anak-anak bos google dan konco-konconya, malah nggak ada komputer buat siswa. Siswa nggak diajari komputer. Sistem pendidikan ala Waldorf yang terkenal di Eropa juga bersikap tegas soal ini: no TV and gadget sebelum anak-anak berusia 11 tahun. Lah, di sini anak TK aja udah disedikan game lho. (Tenang, game-nya edukatif kok, bikin  anak pinter, seperti hmmm…. gamemengenalkan warna).

Ubah Mindset

Balik ke kasus awal tadi. Saya bisa bayangkan betapa beratnya beban jadi guru-guru di sekolah terpencil. Betapa minin sarana yang mereka miliki dan yah, tidak adil membandingkan dengan SD internasyenel yang memang kelebihan dalam segala-galanya, termasuk dalam sumber daya guru.

Toh, saya tidak bisa tidak merasa iba sekaligus prihatin mendengar dua guru mengajar PPKn dan IPA dalam waktu dan tempat bersamaan. Saya berandai-andai guru itu bisa menyatukan kelas dan berkata, “Mbok ya sudah, yuk sekarang belajar IPA dulu semuanya. Anak-anak kelas IV bisa mengajari anak-anak kelas III.” (Kelas tiga itu ada pelajaran IPA nggak sih?). Materi bisa diotak-atik. Dan dua guru bisa saling bantu. Di lain waktu mereka bisa belajar PPKn bareng. Atau, kenapa tidak, yang lagi belajar IPA diajak keluar, jalan-jalan sambil mengamati pohon dan jamur?

Ya nggak segampang itu kali. Kan tiap kelas targetnya beda. Mungkin. Tapi saya kok justru melihat ini kesempatan bagi anak-anak untuk  belajar bekerja sama dan tantangan bagi guru untuk menyelenggarakan kelas yang menggembirakan bagaimana pun situasinya. (Yak, beginilah omongan emak-emak makmur yang punya kuota internet, tapi nggak pernah harus nyebrang sungai buat ngajar).

Anyway, rasanya sudah sering banget saya mendegar keluhan guru. Sudah sering saya mendengar jeritan sekolah yang kurang ini kurang itu. Saya tak hendak menafikannya. Tapi sungguh, saya nggrantes melihat sistem pendidikan kita yang kayak ‘kacamata kuda’, pokoknya jalan lurus nggak usah tengok kanan kiri. Nggak usah belok, nggak perlu meliuk.

Saya sedih lihat anak-anak miskin yang kudu berenang atau meniti jembatan demi ke sekolah. Bukan masalah berenangnya yang bikin hati ciut, tapi kok ya mereka berenang dengan pakaian seragam. Sebelum berenang, bajunya dicopot dulu, masukin tas, sangga di kepala atau gimana, lalu dipakai lagi begitu sampai di seberang. Maksud saya, penting bangetkah seragam bagi mereka? Sedih, melihat anak-anak dipaksa pakai sepatu ke sekolah sementara jelas uang yang buat beli sepatu bisa dipakai buat beli makan (dan yup, sekolah-sekolah swasta modern bahkan tidak mewajibkan anak-anak pakai sepatu atau  seragam lagi, yang konon mengikat dan tidak menyenangkan).

Pentingkah bagi anak-anak ini belajar segala macam kurikulum tentang ASEAN, PBB, struktur MPR, DPR bila membaca saja masih terbata-bata. Bila yang mereka butuhkan saat ini adalah melestarikan lingkungan sekitarnya dari kekeringan? Atau dari pembabatan hutan?

Atau perlukah mereka gedung sekolah? Tak bisakah mereka sekolah di kampung mereka sendiri? Guru mendatangi kampung mereka? Membentuk lingkaran mendengarkan guru mendongeng? Tak bisakah mereka bersekolah setelah mereka mengolah ladang? Belajar IPA dan bahasa sekaligus tanpa dipisah-pisah kelas?

Oke, baiklah, sudah cukup saya meracau. Saya sudah bangun dari mimpi sekarang ini. Rasanya itu masih jauh sekali. Tapi masih ada harapan, mungkin suatu saat nanti semua anak-anak di Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan mereka. Tapi yang pertama-tama mari kita berdoa semoga guru-guru kita lebih arif, lebih kreatif, dan pemerintah kita tak lagi memaksakan segala macam kurikulum yang membuat anak-anak terpaksa belajar dalam satu kelas dengan dua mata pelajaran yang berbeda.