Tempo hari saya bertandang ke rumah seorang kenalan. Di salah satu sudut ruang tamunya terdapat meja kecil yang sesak oleh piala. Saya langsung terpesona – saya memang gumunan–. Piala bagi saya adalah lambang supremasi prestasi. Zaman saya kecil dulu belum banyak orang punya piala. Piala –yang umumnya berwarna abu-abu luwuk dan bentuknya kayak gelas berkuping dua– didapatkan dengan susah payah. Bila dalam keluarga ada anggota yang memenangkan piala, hampir dapat dipastikan piala itu menempati tempat terhormat di ruang tamu dan bisa dilihat oleh semua orang. Kadang-kadang disertai foto si pemenang megang piala atau kalungan medali. Yah, siapa tahu itu dikira piala tetangga.
Memenuhi hasrat kekepoan saya , saya baca label piala-piala itu; juara sekian lomba drumband tingkat TK, juara sekian lomba mewarnai, dan juara pertama lomba wudu! Wudu. Wow. Pasti si anak sangat fasih dalam berwudu hingga dapat juara satu. Gerakannya pasti sangat urut, doanya fasih – tidak cuma sebelum dan sesudah, tetapi juga selama berwudu–, plus pengetahuan dan penghayatannya tentang wudu sangat mendalam. Tetapi eh, saya jadi penasaran kriteria apakah yang dipakai untuk menilai sebuah wudu selain urutannya.
Saya belajar agama sejak SD, tetapi tetap nggak yakin cara berwudu yang benar. Habis gimana, ajaran guru satu dengan guru lain sering beda. Yang satu mengharuskan melafakan niat, yang lain bilang selama kita menyadari yang kita lakukan itu sudah sama dengan berniat.
Yang satu bilang seharusnya membasuh tangan seharusnya dilakukan ke tangan kanan tiga kali, disusul tangan kiri tiga kali, yang lain menyarankan kanan-kiri-kanan-kiri-kanan-kiri. Ada yang bilang telinga harus dibasuh bergantian, ada yang bilang bersamaan. Entahlah, mana yang benar. Saya bukan ahli agama.
Dan yang paling penting, apa sih tujuan lomba wudu? Biar anak-anak semangat belajar dan mengamalkan wudu? Well, belum ada penelitian berkaitan dengan itu. Apakah anak-anak lalu bersemangat wudu setelah lomba? Saya nggak yakin. Tetapi yang jelas inilah faktanya: bangsa ini sangat suka perlombaan dan percaya banget lomba bikin orang bersemangat berprestasi.
Jualan Piala
Pernah dengar lomba toga (tanaman obat keluarga)? Dulu toga pernah jadi program pemerintah. Agar masyarakat bersemangat menanam toga, diadakanlah lomba. Memang warga jadi berpacu membuat taman toga, meski saya yakin sebagian melakukannya karena terpaksa. Zaman itu, kalau nggak menuruti program pemerintah buntutnya bisa mengerikan. Ada peserta yang membeli tanaman dalam polybag buat dipajang pas lomba doang. Tetapi setelah itu ditelantarkan karena ternyata ngrawat kencur dan kunir nggak segampang mencet video panduan berkebun di Youtube.
Masalahnya segala macam lomba itu telanjur membuat masyarakat kita percaya bahwa prestasi dan harga diri ditentukan oleh kemenangan dalam lomba. Singkatnya oleh piala.
Maka jangan heran bila bisnis ‘jual piala’ kini marak. Lomba mewarnai selalu penuh peserta dan jadi ajang pemasaran paling efektif. Cukup diimingi piala dan goody bag berisi pensil warna murah dan voucher sekian perak, orangtua berbondong-bondong menggandeng anaknya ke lomba mewarnai di gerai masakan cepat saji dan akhirnya jajan banyak di sana. Pialanya cuma seharga lima belas ribu, jajannya seratus ribu.
Lomba foto bayi imut banyak beredar di internet. Pesertanya bayar seratus ribu. Kalau menang dapat piala lima belas ribu tadi yup, semua menang, semua senang. Namun, yang paling senang tentu penyelenggaranya karena konon bisa mendapat milyaran rupiah dari aksinya jualan piala. Yang juga setipe dengan ini adalah lomba menulis –cerpen biasanya–. Biaya pendaftaran seratus ribu, pemenangnya dapat pulsa lima puluh ribu. Periiih, ongkos nulis dihargai setara dua mangkok bakso –itu pun kalau menang–.
Tak hanya di medsos, modus lomba semacam ini juga ada di dunia nyata. Seorang teman yang pernah ikut lomba kecantikan bersaksi panitia lomba menawarinya posisi juara yang bisa dipilih. Kalau pengin juara satu bayar sekian juta, kalau mau juara dua bayar sekian juga.
Kegilaan kita pada piala juga ditangkap oleh profesi lain: juru potret! Kalau ada acara anak-anak, dapat dipastikan ada juru foto menggelar lapak, siap memotret anak-anak cantik dan ganteng memegang piala! Asal pegang property piala, nggak perlu background instragrammable! Omong-omong, itu piala apa? Piala siapa? Tulisannya apa? Nggak tahu, pokoknya nanti si anak punya foto pegang piala. Toh nggak ada yang bakal memperhatikan detailnya.
Yang lebih parah ada praktek bagi-bagi piala di lembaga pendidikan. Dengan dalih tak ingin mencederai harga diri anak, dalam suatu kegiatan sekolah, semua anak dapat piala. Siapa yang iuran beli piala? Ya ortunya lah. Padahal kalau cuma piala, kan bisa tuh beli selusin terus ditempeli stiker sendiri.
Maka saya nggak heran ketika suatu hari saya melihat spanduk di jalan raya yang bunyinya kayak gini, “Ayo jaga kebersihan, agar Jogja menang Adipura.” Aduh, sampai pemerintah pun perlu eksis dengan dengan memajang piala!
Eh, tadi ngomongin apa sih, kok sampai Adipura? Oh, ya lomba wudu. Apakah salah kalau hal-hal baik dilombakan? Nggak juga sih. Tetapi menurut saya, selain sepakbola, bulu tangkis, basket dan konco-konconya yang harus dilombakan (sebab, apa asyiknya sepakbola kalau nggak dilombakan?), nggak perlu lah kita membebani diri untuk berprestasi dan mengoleksi piala di bidang-bidang yang nggak esensial. Kalau mau lomba, ya lomba buat senang-senang aja, deh, macam lomba makan krupuk plus nasi dan sambal. Itu kan murah, menang dan kalah nggak masalah. Hadiahnya juga lebih berfaedah daripada piala: handuk dan Sarimi.