Lima Belas Tahun, Sepuluh Tilpun Genggam

Saya berkenalan dengan gawai bernama hape pada tahun 2000an. Saya ingat betul tilpun genggam (hape) pertama saya: Siemen M35. Hape tersebut dibeli oleh ibu saya dari temannya. Yup, itu hape bekas. Harganya 850 ribu. Yup, itu harga bekasnya. Mahal? Banget. Rada ajaib juga hape ini, makin ke sini kok makin murah harganya. Sebagai gambaran untuk adik-adik generasi Y (atau Z-embuhlah), hape Siemen saya itu termasuk top. Siemen sendiri adalah merk paling kondang saat itu ( Apa kabar yak, Siemen sekarang?). Dan hape paling top serta mihil bingit itu layarnya masih monokrom (satu warna gitu adik, adik), bunyinya masih monofonik (cuma bisa bunyi tit, tit, tit, gitu aja lho). Keypad-nya? Satu tombol tiga huruf… bukan qwerty. Layarnya sebesar kotak korek api batang dan bisa disentuh. Maksud saya bisa disentuh saja. Dia tidak punya keahlian lain selain mengirim SMS dan telepon dan dibuat ngulek sambel mungkin.

 

Anyway, dulu agar punya nada panggil unik, kita bisa ‘menyusun nada’ sendiri lewat hape semacam ini. Ada buku khusus untuk merancang nada-nada serupa lagu tertentu misalnya. Misalnya Ibu Kita Kartini, itu kan nadanya do re mi fa sol mi do, dst.. nah Anda bisa merangkai nada tersebut dengan memasukkannya lewat keypad, misalnya untuk nada do, Anda harus memencet huruf ‘A’ dan seterusnya. Rumit tapi asyik. Saya ingat, saya membuat nada ‘Indonesia Raya’ sebagai penanda SMS masuk, dan hasilnya tiap ada SMS masuk, teman-teman saya menoleh bingung lalu mengangkat tangan ke dahi, hormat grak!

 

Bagaimana dengan SIM Card? Percaya nggak jeng, SIM Card itu mahaaallll! Sekitar seratus ribuan kalau nggak salah. SIM Card dengan nomor cantik harganya jutaan cuy, lebih mahal dari hapenya! Saya tidak perlu beli SIM Card karena dapat lungsuran dari tetangga. Saya masih ingat nomornya 081748182 (saiki wis gosong).

 

Pulsanya? Mahal juga. Nggak ada cuy, namanya isi pulsa 5 ribu. Paling dikit 25 ribu! Tarif sekali SMS 350 rupiah. Mbodolke dompet pokoke. Nggak cuma mbodholke dompet, memboroskan BBM juga. Lha gimana, untuk beli pulsa kami harus ke konter khusus. Karena saya pakai XL saya harus ke kantor XL di Jalan Mangkubumi, ambil nomor antrian lalu nunggu. Hanya buat beli pulsa! Perlahan konter penjual pulsa makin banyak, tapi jelas belum ada di Warung Bu Darmi pojokan situ. Next, mulai ada voucher, yang harus digosok lapisan peraknya sebelum nomor rahasia duabelas (atau enambelas?) digitnya keluar. Kayak anak kecil nggosok kartu undian Chiki pokoknya.

 

Nelpon Dua Detik

Kalau SMS aja mahal, nelpon apalagi. Nyekek tarifnya. Jadi, missedcall gratis menjadi pilihan. Misalnya Anda kirim SMS ‘nanti malam jadi ketemuan?’, jawabannya pakai missedcall, yang berarti ‘ya’. Nah, untung bicara, ada siasat khas Indonesia (dan Asia saya pikir), yaitu strategi dua detik. Argo telpun baru berjalan setelah detik ketiga. Itu artinya kalau Anda ngomong dua detik, pulsa Anda tak terpotong.

 

Begitu telepon diangkat, Anda cukup bilang, ‘Hai’. Matikan. Telpon lagi. ‘Pinjam duit dong.’ Matikan lagi. ‘Lima puluh ribu’. Matikan. Gratis! Lebih murah dari SMS. Memang perlu ketrampilan tingkat tinggi karena sekali keblablasan pulsa terpotong.

 

Sayang, para operator lebih cerdik. Mereka langsung mengubah taktik. Argo jalan begitu tombol ‘answer’ dipencet. Para konsumen kalah dalam hitungan sepersekian detik.

 

Saya pernah sewot gara-gara pulsa saya berkurang banyak secara misterius. Usut punya usut ternyata gara-gara ‘dua detikan’ itu tadi. Kok ya curang operator ini, nggak woro-woro kalau mereka sudah mengubah kebijakan.

 

Saya dan Si Gawai

Selama kurang lebih lima belas tahun, total saya pernah berganti hape sembilan kali. Edan juga kalau saya pikir-pikir lagi. Berarti saya ganti hape nggak sampai dua tahun sekali. Padahal saya nggak termasuk gadget freak, dan tidak mudah terpesona ingar bingar teknologi.

 

Hape kedua saya kembali bermerk Siemen, dan lagi-lagi hape bekas. Kelasnya juga lebih rendah; C 35. Downgrade. Tapi saya beli dengan uang saya sendiri  hasil kerja sambilan (saya masih kuliah waktu itu, bangga dong). Lalu saya berpindah ke lain hati saat si C 35 mulai sering ngedrop. Kali ini pilihan saya adalah Sony Ericsson sebesar dua kotak korek api. Mini banget. Saya ganti lagi setelah saya sadar hape itu menyakitkan mata dan jari saya. Tapi yang keren, hape ini meski masih ‘hitam putih’, sudah punya gambar, contohnya gambar gurita buat dipasang sebagai caller ID. Gambar guritanya ya hitam doang gitu.

 

Next saya beli Nokia yang tengah naik daun. Nokia sejuta umat. N 310 (nggak yakin namanya itu), tapi pokoknya bentuknya kotak tebal dan performanya yahud. Hape ini sudah berwarna meski spektrumnya terbatas, biru pudar, kuning samar, merah nggak jelas.

 

Ketika saya sudah kerja dan bergaji jutaan, tiba-tiba Nokia itu keliatan jadul banget meski bos-bos saya saya masih pakai hape semacam itu juga. Masalahnya yang  kemudian trend adalah hape berkamera dan bisa muter lagu. Saya balik ke Sony Ericsson lagi, yang punya kamera meski pixelnya sangat rendah dan diperbesar dua kali aja udah pecah. Tapi keren sekali rasanya, bisa punya wallpaper hasil jepretan sendiri meski rada buram.

 

Hape berikutnya yang saya miliki sangat fenomenal. Fenomenal harganya. Empat juta cing! Itu pada tahun 2008-an (saya masih kaya wakakaka). Itu hape Nokia seri E, qwerty dan sudah termasuk smartphone pada zamannya –meski layarnya tetap masih belum touch screen–. Coba deh, dengan uang segitu hape secanggih apa yang bisa saya dapatkan. By the way, itu hape keren banget emang. Set, set, set, cepet dan bisa menampung ribuan nomor. Waktu ganti hape selanjutnya, saya baru sadar saya punya dua ribuan nomor sampai penjual hapenya takjub. “Itu nomor siapa aja mbak?”

 

Saya ingat betul salah satu alasan saya beli hape ini adalah agar saya bisa menulis di mana saja. Saya sengaja mencari hape dengan fitur semacam Ms. Office. Saya pun berkonsultasi dengan IT specialist di kantor, hape apa yang tepat. Si IT specialist menjawab, “Agar bisa nulis? Mengapa kamu nggak nulis pake kertas dan bolpen saja?” Saya ternganga. Dan ternyata dia benar. Beberapa tahun saya menggunakan hape itu, hanya sekitar lima halaman saja yang saya tulis di gawai itu.

 

Nokia ini berakhir saat dia mulai susah menerima panggilan. Entah, salah apanya, tapi saya rasa saya memang cari-cari alasan buat ganti yang baru. Saya tukar tambah dengan Nokia Asha yang baru (yang ternyata kependekan dari ‘putus asa’ saking lemotnya). Dari hape empat juta, saya beralih ke hape 800 ribuan. Downgrade habis. Saya nombok sekitar 300 ribu karena Nokia saya sebelumnya dihargai 500 ribuan. Mau gimana lagi. Saya sudah nggak kerja lagi waktu itu.

 

Smart Phone, but not Smart Me

Nokia Asha bikin saya putus asya lagi saat ia tak bisa lagi buat motret sekitar dua tahun kemudian. Begitu ‘njepret’ eh langsung mati. Kameranya memang nggak oke-oke banget sih, wong kalau saya transfer ke laptop, tanpa diperbesar pun gambarnya nggak tajam. Tapi masih okelah buat sekadar mencatat dokumentasi. Tapi kalau mati setelah njepret nah itu jadi masalah kan. Padahal saya juga nggak punya kamera –kamera digital saya sudah tewas lebih dulu–

 

Lalu saya beralih ke Samsung smartphone (serinya saya lupa). Sayang yang smart hape-nya doang, pemiliknya nggak. Hape seharga sekitar 1,8 juta ini karena  kekudetan dan kekeuhan saya untuk tidak terlalu intim dengan gawai cuma saya manfaatkan buat SMS, telepon dan paling pol motret dan mutar musik. Baru setahun kemudian saya pakai buat facebook-an karena setelah itu saat itu saya melahirkan anak kedua dan nggak bisa sering-sering buka laptop. Itu sudah cukup memuaskan.

 

Tapi eh ternyata manusia memang tak pernah puas. Hape Samsung pintar itu ternyata cuma memuat satu SIM! Awalnya ini tidak jadi masalah dan nggak saya pertimbangkan amat karena toh saya butuhnya cuma SMS, telepon, dan facebook-an. Tapi anak saya lalu mulai suka nonton youtube. Dan… maknyak, tagihan pulsa membengkak. Kebetulan operator yang saya pakai termasuk mahal tarifnya. Mau ganti operator kok ya sayang nomornya. Itupun masih oke. Yang bikin nyesek, kalau kuota inetnya habis dia main nyedot kuota telepon. Pernah kejadian pulsa sekitar 50.000 nyaris habis dalam beberapa menit. Nyesek deh pokoknya.

 

Pas banget kebetulan suami butuh smartphone karena dia… nggak punya smartphone. Hebat nggak tahun 2016 masih pakai hape yang layarnya nggak bereaksi apa-apa ketika disentuh? Anak saya yang usianya baru lima tahun sampai nanya, “Kok hapenya ayah itu bukan layar sentuh to?”

 

Dan hebatnya lagi, setelah saya ingat-ingat dalam kurun waktu yang sama panjang (lima belas tahun) suami saya hanya berganti hape tiga kali! Tiga kali sodara-sodara, sementara saya sudah ganti hape sembilan kali… sebenarnya sepuluh kali, wong barusan saya akhirnya ganti hape lagi.

 

Hape pertama suami, saya ingat betul, dia beli karena saya desak-desak. Hape kedua merupakan kado dari saya. Hape ketiga dia beli juga karena saya ojok-ojoki (mosok hapenya nggak qwerty, kata saya waktu itu).  Untuk kesederhanaan dan kesahajaan saya angkat topi betul pada suami saya.

 

Anyway, saya jadi mikir, kok bisa saya yang gaptek dan sebenarnya nggak banyak-banyak duit amat, ganti hape kayak ganti celana.  Lah gimana dengan mereka yang tiap ada hape baru panas dingin badannya?

 

Hape saya yang terbaru adalah Vivo versi murah. Kenapa saya beli itu? Karena budget saya terbatas dan saya bingung apa yang harus saya beli dengan duit segitu. Saya tanyalah si penjual di konter  hape dan dia menyarankan saya untuk beli Vivo. Aneh to, beli hape pasrah sama pilihan pramuniaganya? Terbujuk,  akhirnya saya beli hape ini meski beneran saya belum pernah dengar merk itu sebelumnya! Nah sekarang saya kayak Agnes Monica, si brand ambassador Vivo (saya juga baru tahu itu di konter hape). Minimal merk hape kami sama, meski saya yakin serinya beda jauh.

1 thought on “Lima Belas Tahun, Sepuluh Tilpun Genggam

  1. fenty6285

    hahaha, aku juga pake vivo, dimana tadinya mau beli oppo atau xiaomi yang katanya mirip kayak apple dengan harga miring :p tapi gara2 termakan godaan mbak2 konter akhirnya beli vivo xD

    Reply

Leave a comment