Tag Archives: tv

Ketika Si Angger Kecanduan Layar

Baru-baru ini saya sedang dipusingkan oleh tingkah anak saya Angger (2 tahun) yang kecanduan layar. Segala macam layar; komputer, TV, hape. Dia bisa lho, datang ke kids fair yang penuh mainan dan cuma ngejogrok di dalam booth yang kebetulan memasang TV dan memutar film kartun. Ironisnya, kami bahkan punya film kartun yang tengah diputar itu di rumah.

Sebagai orang tua yang melek informasi, saya sadar sesadarnya apa bahaya TV bagi anak-anak. Apalagi bila si anak terpapar sejak dini. Mulai dari malas bergerak, malas ngomong, sampai terpengaruh iklan. Ini beneran. Contohnya: Angger belum pernah makan Oreo. Ia tidak mengerti apa itu Oreo. Lalu suatu hari kami jalan-jalan ke supermarket dan ia menunjuk (minta) Oreo! Sialan tuh TV. Yup, sebelumnya ia nonton iklan Oreo di TV.

So, saya bercita-cita menjauhkan anak saya dari TV, internet dan konco-konconya selaaammmmaaaaa mungkin. Sampai dia SD deh. Oke, sampai di TK-lah minimal. Mulia sekali kan cita-cita saya. Menurut teori anak tidak boleh terpapar televisi sebelum berusia 2 tahun. Nah, saya bercita-cita Angger nggak boleh terpapar TV sebelum berusia tapi lima tahun! Keren banget, kan?

Tapi yaaaa…Anda tahu kelanjutan cerita saya. Mau nggak nonton TV gimana, wong di rumah ada TV. Mau nggak melototin komputer gimana, ibunya tiap hari FB-an. Mau nggak pegang hape gimana, semua orang di rumah ini punya hape.

Akhirnya yah begitulah, awalnya Angger (satu setengah tahun waktu itu) cuma lihat foto dan gambar komputer. Tiap hari yang dia minta adalah gambar ikan. Ikaaan terus. Tiap kali ibunya kerja, dia nyelip, minta dipangku dan minta nonton gambar IKAN. Daripada repot download dan sebagainya, saya belikanlah dia VCD  berisi video dunia bawah laut khusus anak-anak.

Dia suka sekali dan saya tak perlu repot membuka google tiap dia minta ‘nonton iwak’. Tapi saya jadi nggak bisa kerja. Jadilah saya minta dia nonton VCD itu menggunakan TV alih-alih komputer. Wah, dia makin suka. Ibunya juga suka karena bisa disambi-sambi. Anak tenang, terjemahan kelar. Meski yah, dikit-dikit dia tetap manggil ibunya untuk mengulang-ulang adegan yang ia suka. Ngulangnya bisa puluhan kali.

Adik saya, Timbul, meledek saat tahu akhirnya saya menyerah. Tapi sebenarnya saya tidak menyerah. Dalam hati saya bertekad, hanya kali ini saya boleh gagal. Saya akan memutar VCD itu sampai Angger bosan, dan tidak meminta lagi. Biasanya trik ini berhasil.

Tapi tiba-tiba, saya menemukan VCD lama hadiah dari Dancow. Dancow sialan. Saya ingat, saya pernah beli paket susu cair kotak, isi 6 kotak apa ya, dan hadiahnya banyak banget. Sialan betul dah. VCD hadiah tadi ternyata bertema ‘trip to the beach’—pas banget dengan kecintaan Angger terhadap ikan– dan dicap sebagai alat bantu belajar. Yah, apa salahnya saya lihat sekali-kali. Buat selingan. SAYA bosan juga cuma nonton VCD yang itu-itu aja.

Tapi alamak, gawat sekali, VCD Dancow ini lebih membius daripada sebelumnya. Terutama karena ada adegan kereta lewat. Angger lagi demen-demennya nonton PALANG kereta api. Serius. Suatu saat, Anto iseng-iseng mengajak Angger ke stasiun Lempuyangan. Di sana ada semacam tanah kosong tempat orang tua momong anaknya. Letaknya persis di pinggir rel, dekat palang kereta. Nah, begitu kereta lewat anak-anak akan asyik liat kereta, kecuali Angger, dia serius banget liat PALANGNYA. Gejala kecanduan palang segera melanda. Di mana-mana Angger menemukan ‘mainan’ yang bisa dijadikan palang: galah, tikar gulung, gitar, pengki, sampai kaki ibunya. Kalau melihat barang-barang yang bisa dijadikan palang, ia segera menaikturunkan barang itu sambil ‘berbunyi’, “tuuuuliit, tuuuliit, tuulliiittt….” sumpah, nadanya mirip banget.

Oke, balik lagi ke VCD Dancow. Adegan palang pintu yang cuma tiga detik di video itu bisa ia minta ulang sampai puluhan kali. Sebagai ibunya, saya tau persis, bila saya turuti terus ia akan bosan. Biasanya trik seperti ini berhasil. Well, trik itu berhasil pada kegilaannya terhadap es krim dan kerupuk beberapa saat lalu. Pokoknya turuti sampai bosan. Benar saja, trik mengulang sampai dia bosan itu berhasil, meski yah, saya sempat bosan setengah mati memencet tombol rewind. Tombol rewindnya juga pasti tertekan –dalam arti sesungguhnya—saking seringnya saya pencet.

Merembet

Kecanduan Angger terhadap video Dancow memang tak lama. Tapi kecanduannya pada layar bertahan lebih lama dengan bentuk yang lebih parah. Dulu, Angger sangat –terpaksa—disiplin. Begitu TV menyala, Angger saya singkirkan dari depannya. Saya asuh di kamar. Lalu, lama-lama ia bisa jalan sendiri dan tak bisa lagi saya ‘bekap’ di kamar. Lama-lama, tekad ibunya juga sudah mulai luntur. Saya ogah sendirian di kamar sementara si ayah nonton stand-up comedy (hanya itu satu-satunya acara yang saya tonton, itu pun nggak rutin). Lalu, Angger juga mulai melotot di depan TV tetangga pas ia main. Next, dia mulai tahu komputer juga bisa buat mutar video. Dia sering minta ibunya nyetel komputer. Kalau komputer utama dipakai, dia tahu ada laptop kecil buliknya yang juga bisa memutar video. Selain komputer, masih ada hape yang juga bisa dipakai untuk menikmati dunia digital. Angger tahu itu. Kalau buliknya kerja dia sering bertanya, “Mana bulik?” Yang berarti, “Mana hape-nya bulik.” Memang hape buliknyalah yang sering ia pakai buat nonton. Hape ibunya…rrr… tidak punya fasilitas video.

Frekuensi nontonnya juga makin ngeri. Awalnya cuma sore, bakda asar. Selain itu, tidak saya izinkan. Lama-lama bakda dhuhur pun sudah saya izinkan. Lama-lama jam sepuluh pagi, dia sudah merengek minta nonton dan saya kabulkan.

Well, saya akui saya lemah iman. Nggak tahan melihat anak merengek. Yang kedua, saya menemukan manfaat TV yang sangat menakjubkan: membuat anak tenang hingga saya bisa NYAMBI KERJA. Begitulah, dia anteng di depan TV, saya nyolong-nyolong buat menerjemahkan. Atau sebaliknya, kalau dia mau ganggu saya, saya bilang, “Sana tonton iwak aja.” Di titik ini, saya sempat lho pengin membelikan VCD baru buat Angger. Seri Thomas misalnya. Taruhan, Angger bakal anteng dari pagi sampai sore.

Tersadar

Saya mengecam adik saya, Mbinci, yang membiarkan anaknya nonton i-pad dan youtube. Anaknya sama dengan Angger, kecanduan layar. Saat kami video call-pun (Mbinci dan keluarganya tinggal di Jepang), si anak ini tak mau menyapa kami, sibuk nonton Ang-pan-ma-entah apa, semacam itulah. Tapi, yah, saya jadi maklum. Mbinci dan istrinya sibuk sekali. Mereka hanya tinggal bertiga di sana. Tak ada pembantu, tak ada saudara. Mau apa lagi? Dudukkan saja anak di depan layar, kerjaan kelar.

Kini Mbinci berjuang memutus kecanduan anaknya dari youtube. Sama seperti saya yang berjuang memutus kecanduan Angger pada layar. Saya mulai melihat gejala-gejala mengkhawatirkan pada diri Angger. Pertama, dia malas bergerak. Susah banget diajak jalan ke pasar, misalnya. Yang kedua, dia cuek bebek bahkan bila ayahnya pulang kantor. Tak ada sambutan hangat, tak ada ‘hai’, tak ada apa-apa, mata lurus menatap kaca. Yang ketiga, Angger selalu dan selalu minta nonton ini itu. Bisa sewot bila tidak dikabulkan.

Saya sendiri percaya TV itu membuat bodoh. Silakan saja mendebat. Tapi untuk anak-anak TV memang bikin bodoh. Kenapa? Banyak alasannya, tapi yang paling saya takutkan adalah terhambatnya imajinasi anak. TV itu mendikte. TV itu instan, cepat, gampang, dan dangkal. Tak ada interaksi. Anak tidak tertantang. Tinggal menelan. Jadi harap maklum saja, bila anak hanya tahu bahwa yang bisa bikin juara itu sosis so nice, bahwa semua domba itu berwarna hitam seperti Shaun, dan seterusnya. Itulah ajaran yang didapat dari TV.

Jadi, saya bertekad memutus kecanduan Angger. Sulit kelihatannya, tapi mudah sebenarnya. Kuncinya: kasih kegiatan lain yang sama atau lebih menyenangkan. Itu terbukti pada Anggit, anak Mbinci yang saya ceritakan tadi. Sebulan dia liburan di Indonesia, bermain dengan Angger sepanjang hari dan ia bahkan tidak menanyakan i-padnya!

Banyak banget kegiatan yang bisa kita lakukan. Hari pertama, saya bawa Angger ke Taman Pintar. Taman Hiburan gratis di Jogja. Saya biarkan dia jalan-jalan sampai capek. Hasilnya: horeeee, Angger hanya nonton TV di sore hari sekitar lima belas menit. Hari kedua, saya ajak dia muter kampung, nonton anak-anak main bola dari tas kresek dibulatkan. Hari ketiga kebetulan hari Kartini, jadi saya ajak dia ikut karnaval bersama anak-anak PAUD lain. Sorenya saya biarkan ia ikut mencuci baju sampai basah kuyup. Tak mengapa, repot sedikit, tapi frekuensi dia menghadap layar turun drastis. Hari berikutnya, saya ajak dia ke pasar siang-siang, jajan es dawet sambil mengamati para pedagang berkemas. Panas, cape, tapi layak dijalani.

Kesimpulannya: memang harus kreatif. Teknologi dan dampaknya tak bisa kita hindari, tapi bisa kita akali.