Kekerasan di Kampus: Mengapa, oh, Mengapa?

Belum habis rasa syok mendengar Amirulloh Adityas Putra (18) tewas di tangan para seniornya di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Marunda, Jakarta Utara pada 10 Januari lalu, sepuluh hari kemudian (hanya sepuluh hari berselang!) syok  saya berlipat-lipat mendengar dua (lalu akhirnya tiga) mahasiwa UII tewas setelah mengikuti the Great Camping, semacam pendidikan dasar, Mapala UII Yogyakarta. Diduga kuat karena dianiaya seniornya.

 

Sedih tak terkira. Nggrantes campur geram. Saya tak mengenal para korban, tapi saya sangat berduka. Sebagai seorang ibu, perasaan saya sangat rentan terhadap tragedi anak-anak seperti ini. Saya tak bisa membayangkan betapa hancurnya ibu dan ayah para korban itu. Anak dikandung, dirawat, disayang-sayang, hingga disekolahkan yang bisa jadi dengan uang yang dikumpulkan susah payah, meninggal dengan cara tragis seperti itu. Membayangkan saja tak kuat! Oh, Tuhan, hati saya menangis berdoa. Lindungi anak-anak saya. Lindungi semua anak di muka bumi ini.

 

Kok bisa?

Habis nalar saya mencari penjelasan mengapa semua ini terjadi. Kalau Anda membaca tulisan ini dengan harapan menemukan penyebab tragedi ini, saya beri tahu sejak awal, Anda tidak akan mendapatkannya. Saya sama putus asanya dengan Anda. Saya sungguh ingin mendapatkan penjelasan atas ini semua. Tolong. Ada yang bisa menjelaskan?

 

UII kalau-kalau Anda belum tahu adalah kepanjangan Universitas Islam Indonesia. Jadi ada afiliasi dengan agama di sini. PT swasta ini juga cukup mahal. Artinya yang masuk ke sana kebanyakan menengah ke atas. Di sini pun teori-teori yang mengatakan bahwa kekerasan itu biasanya terjadi dalam masyarakat yang tidak agamis dan dari golongan kelas bawah sudah mental semua.

 

Dan harap dicatat, kekerasan serupa pernah terjadi di banyak sekali PT tinggi; yang negeri atau swasta. Yang berafiliasi dengan agama atau yang tidak. Yang ecek-ecek atau yang elit. Yang militeristik, semi miliristik, atau sipil total! Di sini logika juga sudah habis.

 

Sebenarnya fakta bahwa kekerasan terjadi di perguruan tinggi alias lingkungan akademis langsung membuat otak saya buntu! Kok bisa! Sekolah itu kan kumpulannya orang pinter to? Orang terdidik, kan? Lah kok bisa ada kejadian kayak gini?

 

Makin tragis lagi kejadian seperti ini sering menimpa anak-anak mapala (mahasiswa pecinta alam). Nalar saya yang tadinya buntu kini jadi mampet. Macet. Buntet. Dalam bayangan saya, pecinta alam itu, pohon aja dielus-elus.

 

Anyway, mungkin ini hanya perkara salah penamaan saja. Mungkin sebaiknya kata ‘pecinta alam’ diganti ‘kemping’, ‘hiking’, ‘caving’ atau apalah. Dan nggak pakai pukul-memukul, tentu saja.

 

Penafikan: Saya paham tidak semua mapala punya tradisi minus. Saya paham UII sebagai PT pasti juga anti kekerasan dan sama berdukanya dengan kita semua (kenyataan manajemen mereka mengakui terjadi  kekerasan saja sudah membuat salut). Saya juga paham, seringkali hal-hal seperti ini adalah ulah oknum.  Saya kenal beberapa pehobi pendakian gunung yang lembut hati dan sungguh-sungguh mencintai alam. Itulah yang benar menurut saya, semakin kita mampu ‘menaklukan’ alam, semakin takluk juga diri kita pada alam.

 

Mengapa, mengapa, mengapa?

Gunung itu ‘ganas’ lho. Sungai itu ‘kejam’. Gua itu penuh ‘bahaya’. Jadi harus ada pelatihan intens yang membuat kita tangguh kalau kita mau mendaki gunung atau menyusur gua. KATANYA.

 

Mahasiswa teknik (Geologi, Geodesi, Geografi, dll) itu harus kuat lho, soalnya harus turun ke lapangan, ke tambang, ke gunung kapur, dan sebagainya. Jadi mereka perlu latihan yang membentuk mental dan fisik baja. KATANYA.

 

Saya tak meragukan itu. Tapi saya juga tak ragu: itu semua bisa dilakukan tanpa penganiayaan. Kalau ada yang menyebutkan alasan ‘harus tangguh’ membenarkan penggojlogan saya pengin teriak: Gosh, pusat pelatihan kebugaran banyak kaleee!!! Panggil tuh instruktur professional. Panggil pendaki gunung senior yang tahu semua pengetahuan pendakian. Mereka tahu makanan yang harus diasup, olah fisik yang harus dilakukan, plus kriteria-kriteria yang harus dicapai sebelum seseorang boleh mendaki gunung. Jangan lupa, cari pendamping, guide, dan personel P3K yang memadai bila harus latihan di lapangan karena memang alam bisa ‘ganas’.

 

Tapi mungkin, ini bukan soal itu

Pada suatu sore, saya sekeluarga sedang melakukan perjalanan naik kereta. Di depan kami duduk seorang bapak setengah baya yang segera saja terlibat obrolan seru dengan kami. Salah satu topik pembicaraan kami adalah perploncoan.

 

“Saya nggak setuju bila perploncoan dihapus,” kata si bapak yang lulusan PTN unggulan, “Perploncoan itu benar-benar membuat kami solid. Solidaritas kami sangat tinggi,” lanjutnya mengenang teman-teman seangkatannya. “Kami dekat satu sama lain. Kalau ada yang butuh bantuan, langsung set set set semua sigap membantu.”

 

Saya cuma manggut-manggut.

 

“Ada satu anak yang menolak ikut plonco waktu itu. Dia menyesal kayaknya, karena akhirnya ia dikucilkan.”

 

Sungguh saya pengin njempalik. Jadi anak itu dikucilkan karena dia punya pendapat yang berbeda soal perploncoan? Karena dia pengecut? Karena dia tak mau menderita bersama teman-temannya? Karena dia menolak pakai topi koran, tas kantong gandum, merangkak di tanah dan berendam di selokan bau?

 

Speechless.

 

Mungkin ini juga bukan perkara itu. Mungkin ini karena ada anak yang biasa dikerasi oleh orang tuanya. Atau ada remaja yang tak pernah didengar pendapatnya, tak pernah dianggap ada, hingga mencari eksistensi dengan cara apa pun. Mungkin ini soal relasi kuasa yang memang mudah dieksploitasi. Mungkin ini hanya peniruan dari ‘orang-orang di atas’ yang kerap menggunakan kekerasan untuk menakuti-nakuti, membuat patuh, dan meraih kekuasaan. Mungkin ini salah film dan internet. Mungkin karena kita tak peduli. Taruhan, tragedi ini akan berlalu lalu terulang lagi. Bisa jadi ini karena kita juga permisif pada kekerasan. Kita masih kagum pada ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’, kita masih percaya laki-laki tak boleh menangis; hanya pengecut yang mengadu, kamu harus bisa menahan pukulan kalau mau kuat. Atau ini semua bermula dari…. mbuhlah, saya sudah buntu, tak tahu lagi awal ujung dan pangkal benang yang sudah kusut ini.

6 thoughts on “Kekerasan di Kampus: Mengapa, oh, Mengapa?

  1. Sri Wahyuni Sadilia

    Pengen nangis juga sy mbak, padahal notabene mreka bkn kluarga sy dan sy pun blm brkeluarga tpi remuk juga rasanya hati ini membayangkan perasaan org tua anak2 yg malang tersebut. :’)

    Reply

Leave a reply to Dedew Cancel reply