Cerita Ayah: Tondo Pangarso

Tidak ada yang istimewa dari cerita ini. Saya hanya ingin mendokumentasikannya saja.

Mbah Buyut dari pihak nenek saya bernama Mbah Tondo Pangarso, sedang dari kakek saya bernama Tondo Tikswara. Rumit ya dua kakek buyut bermana hampir sama: Tondo. Tapi ‘Tondo’ bukan nama. Tondo itu gelar, gelar bagi pegawai keraton dengan tingkat tertentu. Jadi nama pendahulu saya itu sudah berganti berkali-kali gara-gara soal gelar ini. Tapi nama ‘tondo’ itulah yang paling melekat.

Mbah Tondo Pangarso adalah lurah pasar Kranggan. Dan gajinya: 80 gulden pada saat itu! Per bulan. Delapan puluh gulden itu… saya nggak bisa mengkonversikan dengan rupiah sekarang, tapi pokoknya buanyak banget! Perumpaan ayah, “Kalau mau beli tanah tiap bulan bisa!”

Tapi Mbah Tondo Pangarso itu tidak kaya. Aneh banget kan? Gajinya hanya dibagi-bagikan setiap saat. Pintu rumahnya di kampung Kemetiran tidak pernah dikunci siang maupun malam selama hidupnya.

Kalau dia melihat orang memikul kayu untuk dijual, dia membeli kayu itu tanpa menawar harganya, “Antar saja ke rumah saya di Kemetiran.”

Pernah ia melihat bakul bandeng dan langsung memborong seluruh dagangannya, “Antar semua ke rumah saya di Kemetiran.” Dan bandeng itu hanya dibagi-bagikan.

Hobi dia di malam hari adalah menyalin babad-babad.

How I am proud to be one of his descendants! 

4 thoughts on “Cerita Ayah: Tondo Pangarso

Leave a reply to kenterate Cancel reply