Angger Minta Sekolah

Begini rasanya insomnia. Sudah jam dua malam, saya belum juga bisa terpejam. Ini peristiwa langka karena saya sebenarnya adalah sleeping beauty. Jam sembilan malam, beratnya mata sudah melebihi bandul timbangan.

Dan saya pun akhirnya nguprek kerjaan. Tapi nguprek kerjaan ada bosannya juga. Jadilah saya ingat blog saya yang terlantar berabad-abad. Saya sudah pasrah sebenarnya. Tapi selalu ada yang nanyain blog saya. Bikin malu hati saja.

Apalagi manusia ini menuduh saya (dengan telak) bahwa saya sering membuat status facebook agak panjang sebagai pelampiasan karena MALAS menulis blog. Heran juga bagaimana dia tahu.

So, hidup saya kini berkisar seputar pekerjaan mengasuh anak dan mencari uang (menulis-menerjemahkan). Saya jalani sebisa-bisanya. Angger (2,5 tahun kini) sudah mulai mengerti kalau ibunya bekerja. Jadi kadang dia mau main sendiri sementara saya sibuk dengan laptop. Tidak ideal? Well, yah, mau bagaimana lagi. Minimal kami masih dalam satu rumah dan saya selalu siap berhenti bekerja ketika ia meminta.

Minta Sekolah

Beberapa minggu yang lalu Angger minta sekolah. Sekolah pawud katanya. Entah dapat ide dari mana dia. Saya tidak pernah mendorong-dorong dia buat sekolah. Mungkin dia terpengaruh sepupu atau temannya yang sudah sekolah pikir saya. Saya biarkan saja. Saya pikir dia tidak tahu apa yang dia minta. Pastinya dia tidak tahu sekolah itu apa kan?

Tapi keesokan harinya dia minta lagi. Lalu hari berikutnya minta lagi. Pusinglah saya. Haduh, kayaknya dia serius. Saya mulai galau. Bukan apa-apa, saya tidak ingin menyekolahkan Angger hingga usianya lima tahun nanti. Saat ia sudah pantas masuk TK. Saya berpendapat pendidikan awal terbaik seharusnya didapat dari keluarga. Saya juga melihat Angger belum siap. Toh kalau dia ikut PAUD di kampung yang hidup enggan mati tak mau itu, dia hanya duduk menonton saja. Tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan.

Selain itu dia masih ‘suka-suka’ dalam ngapain aja. Bangun kadang jam enam pagi, dan seringkali jam tujuh ke atas. Makan (besar) kadang sekali, kadang dua kali. Disuruh mandi kadang bersemangat, seringkali berontak.

Saya juga tahu persis meski sekolah itu banyak positifnya, negatifnya pasti juga ada (kalau tidak bisa dibilang banyak). Yang pertama: penyakit. Jelas. Anak yang sudah masuk PAUD atau TK akan lebih sering sakit dibanding anak yang masih main di rumah saja. Satu anak flu saja, dapat dipastikan akan menulari teman-teman sekelasnya. Dan jujur aja, di setiap PAUD atau TK pasti ada saja tuh anak yang ingusnya turun sampai lutut! Belum lagi penyakit menular lainnya yang okelah… tidak berbahaya tapi tetap bikin repot. Anak SD sudah lebih kuat daya tahan tubuhnya dan sudah bisa diarahkan untuk menjaga kebersihan, jadi tidak begitu masalah. Tapi anak PAUD dan TK, hmmm, gitu deh.

Pengaruh buruk dari guru dan teman tak bisa dihindarkan. Angger sekarang belum tau apa itu mencubit. Dia tidak pernah mencubit (dia tahu menendang dan menjambak, tapi tidak tahu soal mencubit. Dan yang ditendang atau dijambak cuma saya). Bukan mustahil kalau dia sekolah, pada hari pertama, pelajaran yang ia dapatkan adalah cara mencubit yang benar.

Oke, semacam itulah. Pelajaran ‘tidak nggenah’ ini tidak berhenti pada pelajaran mencubit, tapi juga pelajaran menyanyikan lagu orang dewasa, mengucapkan kata-kata yang kasar dan vulgar, hingga cara goyang seronok!

Selanjutnya adalah bullying dan kekerasan. Percaya atau tidak sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang mencerahkan bisa jadi sumber bullying dan kekerasan. Tidak hanya siswa ke siswa lho. Guru pun bisa jadi sumber bullying. Bullying ini bentuknya macam-macam, mulai dari cemoohan, memanggil dengan julukan tak menyenangkan, pengucilan, hingga hukuman yang tidak mendidik, dan paling parah pelecehan seksual.

Yang keempat (eh, keempat ya?), di sekolah yang keren (baca mahal) yang ada adalah anak-anak pamer! Ulang tahun pun dirayakan dengan sangat heboh! Kalau temannya bikin ultah heboh, apa iya tidak ada tekanan bagi si anak atau orang tua untuk mengadakan pesta yang minimal sama lah. Kalau bisa yang lebih heboh.

Jadi tentu saja saya ngeri saat Angger merengek minta sekolah. Tapi saya pikir, kalau dia memang ingin dan menyukainya kenapa tidak? Sudah seminggu dia merengek-rengek. Itu berarti keinginannya itu bukan keinginan sesaat.

Akhirnya karena capek juga mendengar rengekannya, saya ajak dia ke TK ‘sebelah rumah’. Pikiran saya praktis saja: jaraknya dekat. Meski judulnya TK sebelah rumah, TK yang kami kunjungi bukan TK ecek-ecek. Memang bukan TK mewah, sederhana malah, tapi lumayan bagus lah. Muridnya cukup banyak. Programnya cukup beragam, mulai dari tempat penitipan anak, PAUD, TK, sampai kursus calistung. Fasilitasnya juga cukup lengkap. Lumayan tertib dan bersih meski ada bagian-bagian yang sudah rusak, kumuh, atau tidak serasi. 

So, kami ke sana dan Angger langsung menongkrongi perosotan tanpa mau beranjak lagi. Saya menghadap resepsionis untuk mencari tahu syarat-syarat menjadi siswa di situ. Wah, TK sederhana itu pun mengenakan biaya masuk yang cukup aduhai. Dua juta untuk masuknya saja. Dua ratus ribu sekian untuk biaya SPP per bulan. Delapan ratus ribu untuk biaya operasional setahun. Belum lagi seragam dan lain-lain.

Jelas lebih mahal daripada biaya kuliah saya kuliah dulu! Dan itu sama sekali tidak mahal saudara-saudara. Karena jelas ada  (banyak)TK yang mengenakan biaya masuk setara dengan harga satu buah sepeda motor yang bisa menjadi modal ngojek!

Singkat cerita Angger sangat enjoy di situ dan tidak mau pulang. Dia menonton anak-anak melukis, main ke sana ke mari, sementara saya berusaha keras mengamati dan menilai apakah tempat itu cukup layak sebagai habitat anak saya kelak.

Belum lama saya mengamati sudah ada pemandangan horor di depan mata. Seorang anak makan sosis so nice dan tidak ditegur gurunya! Aduh, Mak, mati-matian saya melindungi anak saya dari makanan kemasan dan bisa-bisa usaha susah payah saya itu gagal dalam hitungan jam begitu anak saya sekolah.

Dari semua makanan kemasan, saya paling parno dengan sosis so nice. Sederhana saja: iklannya masif banget. Sangat… mencuci otak.

Oh tidak saya tidak berhasil sepenuhnya dalam memerangi makanan kemasan. Kadang (sering) jebol juga Angger makan wafer tango atau biskuit good times. Tapi, ya sudah, tak perlu ditambahi sosis so nice dan biskuit lain, kan?

Tak lama kemudian, saya mendapati peristiwa horor kedua. Beberapa orang sedang bermain dan entah apa yang yang terjadi tapi salah satu dari mereka kemudian berkata, “Kamu jangan gitu. Kamu nanti masuk neraka lho!”

Apa pun itu saya yakinkah temannya tidak sedang membunuh orang atau korupsi.

Hal ketiga yang tidak begitu horor, tapi membuat saya berjengit adalah: seorang anak menangis karena dicubit temannya (see, saya benar kan soal cubit mencubit tadi). Ibu guru menegur si pencubit dan berkata, “Alloh memberi tangan untuk dipakai menulis, menggambar, dan bukan mencubit.” Tidak salah sih dan yah, itu sangat baik, tapi saya punya nilai dan cara sendiri.

I Have to Let Go

Sore harinya saya diskusikan pengalaman saya dengan suami. Dan suami saya bilang, “Kau harus berusaha melepaskan Angger. Suatu saat ia harus ‘terbang’, harus ‘mandiri’. Kita tidak bisa mendekapnya terus menerus. Yah, keadaan di luar memang tidak ideal, tapi itulah kenyataannya dan dia (kita semua) harus menghadapinya.”

Suami saya punya filosofi mendidik anak seperti ini: jika kita tinggal di dekat sungai, jangan larang anakmu main ke sungai, tapi ajarlah dia berenang.

Yah, dia benar, tapi tetap saja saya masih khawatir.

Dalam hal keagamaan, saya setuju dengan filosofi Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Dia bilang sebelum menjadi orang Islam, hendaklah kita belajar jadi ‘orang’ dulu. Belajarlah menjadi orang, baru setelah itu belajar menjadi orang Islam.

Cak Nun bilang, “Kalau membunuh itu tidak dilarang, kalau tidak ada Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa membunuh itu salah, apakah kita akan membunuh?” Tidak kan?

Artinya kita sebagai manusia sudah dibekali Alloh dengan nurani. Jadi mari kita belajar menggunakan nurani itu. Artinya, tanpa kitab suci, tanpa aturan, tanpa ancaman ‘neraka’ atau iming-iming ‘surga’ seharusnya kita tidak mencubit, tidak mencuri, tidak buang sampah sembarangan, tidak membunuh dan seterusnya. (Biasanya sih tindakan yang dihubungkan dengan surga-neraka oleh para orang tua/guru adalah: durhaka pada orang tua, bohong, mencuri, tidak sholat/puasa dan zina. Buang sampah sembarangan, menyerobot antrian, atau menyetel tape keras-keras pakai speaker sampai mengganggu tetangga tidak ada hubungannya dengan surga dan neraka. Apalagi kalau lagunya lagu ‘Islami’).

Itulah yang ingin saya terapkan pada Angger. Jujurlah karena jujur membuat hidup kita mudah dan ringan. Rukunlah dengan temanmu karena dengan begitu kalian bisa bermain. Berbagilah karena berbagi itu menyenangkan. Dan seterusnya.

Bukannya saya tidak mengenalkan anak saya pada Tuhan. Tidak! Saya justru mewajibkan Angger untuk percaya pada Alloh. Hanya saja, Alloh yang ingin saya kenalkan padanya adalah Alloh yang Maha Asih. Tuhan yang menciptakan kembang bakung yang cantik. Tuhan yang akan mengirimkan adik untuknya suatu saat kelak bila ia berkenan. Bukan Alloh yang… gara-gara Alloh aku nggak boleh bohong!

Sekali lagi ini hanya beda pendekatan.

Reward and Punishment

Saya tida menyangkal gagasan ‘surga’ dan ‘neraka’ memang bisa menyederhanakan banyak hal untuk anak-anak. Di mana-mana sistem ‘reward and punishment’ selalu diterapkan sebelum akhirnya membentuk jadi kebiasaan dan setelahnya menjadi kesadaran. Orang Singapura belajar bersih pakai sistem ‘denda’ pada awalnya, ya kan?

Menerangkan bahwa ‘kikir dan rakus’ itu membuat hati kita sempit dan ekonomi dunia jadi timpang tentu saja bikin pusing kepala. Gampangnya ‘kalau kamu pelit, besok kamu masuk neraka’. Beres!

Itu juga mengapa para ustad selalu mendorong peserta pengajian untuk infak supaya dapat ganti berlipat-lipat! Seperti investasi lah. Ada juga yang mendorong shodaqoh agar bebas dari penyakit (dalam arti harfiah). Karena apa? Karena itulah alasan yang paling gampang dicerna!

Sekali lagi saya tidak menafikkan cara-cara seperti itu. Alloh pun menggunakan logika yang mudah untuk mendorong manusia berbuat baik seperti dalam firmanNya: Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Alloh melipatgandakan rezeki & kpd-Nyalah kamu dikembalikan (Al Baqarah : 245).

Lah Alloh kok meminjam! Bukankah dia pemilik segalanya? Tapi itulah caranya untuk mengajari manusia. Dia mamakai pemisalan yang begitu mudah dipahami oleh manusia.

Saya juga tak menyangkal ada baiknya juga yang mengaitkan semua dengan Alloh (dan memang toh semua hal di dunia ini tak lepas darinya). Pokoknya semua itu demi Alloh, karena Alloh. Belajar harus karena Alloh, bukan karena nilai rapor. Sholat juga karena Alloh, bukan karena kita butuh berserah diri. Bekerja demi Alloh, makan demi Alloh, sampai poligami pun demi Alloh! Hebat sekali toh?

 

Kafir Kafir No!

Percaya atau tidak ada yang namanya tepuk anak sholeh. Begini tepuknya:

Tepuk anak sholeh? Plok-plok-plok.

Aku/ plok-plok-plok/ anak sholeh/ plok-plok-plok

Rajin ngaji/ plok-plok-plok/rajin sholat/ plok-plok-plok

Dan seterusnya. Saya lupa lengkapnya. Yah, semacam tepuk yel-yel MLM gitu lah. Tapi yang bikin shock itu adalah akhir tepuk itu. Islam, Islam, Islam, yes! Kafir, kafir, kafir, no!

Ya ampun kafir! Aduh, di kuping saya kafir sangat… tidak enak didengar. Dan saya rasa konsep kafir begitu rumit sampai belum pantas didengar oleh anak-anak.

Misalnya: bagaimana sih, menentukan bahwa orang itu kafir? Bukankah hanya Alloh yang bisa menentukan itu? Apa hanya karena di KTP agama mereka tidak sama dengan agama kita, maka kita berhak mengatakan dia kafir?

Tunggu dulu. Pernah ada kisah pelacur masuk surga gara-gara memberi minum pada anjing yang kehausan sementara dia sendiri sangat haus. Pelacur lho! Apa sih yang ‘lebih kafir’ dibanding pelacur? Tapi nyatanya dia masuk surga. Hanya gara-gara dia ngasih minum anjing pula bukan karena dia membangun sekolah atau mengadopsi anak yatim atau apa.

Jangan-jangan… duh, siapa sih yang bisa menjamin kita masuk surga hanya karena kita sudah sholat, sudah berinfak, sudah membayar pajak, pokoknya sudah tidak kafir tu tadi? Siapa sih yang tahu dalam hati seseorang? Jangan-jangan seseorang  yang kita cap sebagai pelacur (dan tentunya kita cap masuk neraka) justru punya iman yang lebih tebal daripada kita? Well, yeah, hati orang siapa yang tahu sih, selain Penciptanya?

Jadi ya jangan heran kalau remaja sekarang pun sudah bisa bikin spanduk gueedeee banget yang bertuliskan, “Jangan ragu untuk mengatakan golongan XYZ halal darahnya!”

Walah, padahal yang dia sebut golongan XYZ tadi masih seagama lho. Bikin urut dada sampai rata toh?

So balik lagi ke masalah tadi

Ini saya pikir hanya perbedaan saja. Ini bukan perkara bagus yang mana. Bagus mana? Memperkenalkan surga/neraka sejak dini atau tunggu sampai mereka bisa jadi ‘orang’ dulu? Monggo saja. Bagi saya sih, semuanya baik. Yang tidak baik kan kalau kita biarkan anak tanpa arahan atau kita nyuruh anak nyolong.

Sekolah atau Tidak?

Tapi untung saja sebelum saya pusing antara menyekolahkan Angger sekarang atau menundanya, di sekolah itu Angger bertanya, “Mbak Putri  mana?” sambil mencari-cari ke sekeliling.

Huahaha. Jadi selama ini dia pengin ke sekolah hanya karena kangen pada sepupunya dan tiap kali dia pengin ketemu dengan sepupunya itu saya bilang, “Mbak Putri sedang sekolah.” Dia pikir kalau dia sekolah, dia bakal ketemu Mbak Putri, hahaha!

Dan syukurlah, esoknya dia tidak minta sekolah lagi!

Baiklah, kudekap kau lebih lama lagi, Nak. Saya mungkin niru Shakira (penyanyi itu lhoooo). Saat ia ditanya sampai kapan ia akan menyusui bayinya, dia menjawab: sampai anak saya kuliah! Hahaha.

 

10 thoughts on “Angger Minta Sekolah

  1. Luna Torashyngu

    Komen ah….
    Terus terang aku setuju dengan filosofi suamimu, karena apa yang kamu alami sekarang pernah juga dialami saat Luna Kecil seumuran Angger dan merengek minta sekolah. Mamanya punya kekuatiran yang sama dengan kamu, bagaimana kalo dia jadi gini? Bagaimana jadi gini? dsb. Lalu aku bilang…biarpun anak udah sekolah, pendidikan dari rumah tetap jalan terus, dan akhirnya Luna kecil masuk ke playgroup, dengan berbagai pertimbangan yang akhirnya pada satu kesimpulan. Sisi positifnya lebih banyak kalo Luna sekolah daripada sisi negatifnya. Dan syukurlah…sampe sekarang udah 3 tahun Luna kecil sekolah (KB-TK A – TKB), dia tetap berpegang pada ajaran di rumah dan ngagk terpengaruh kelakuan teman2nya. Ada teman2nya yang sering sakit2an, flu, ingus, aku nggak kuatir karena Luna sejak kecil doyan makan sayur, jadi kekebalan tubuhnya terhadap nggak usah diragukan lagi (selama 3 tahun Luna hampir nggak pernah ijin karena sakit). Ada teman2nya yang jajan sembarangan, Luna gak ikut2an, dan dia selalu makan bekal yang dia bawa dari rumah sampe abis. Ada teman2nya yang berkata kurang pantas (jorok, kasar atau perkataan dewasa), kalo Luna kecil ikut menirukan langsung aku marahi sambil kasih pengertian bahwa kata2 itu belum pantas diucapkan dia, dan besoknya dia nggak lagi ngucapin kata2 tsb dan malah suka nasehatin temen2nya yang berkata2 seperti itu (Walau dengan gaya kanak2nya). Jadi intinya awalau udah sekolah, kita nggak lepasin pendidikan dan pengawasan sebagai orangtua di rumah. Kita biasakan Luna menceritakan kembali apa yang dia dapat dan dia lakukan hari ini di sekolah, dan kalo ada yang ngagk bener langsung kita koreksi dan nasehati dia, sebelum terlanjur. Salah satu sisi positifnya Sekolah adalah membiasakan anak tidak takut berhadapan dengan orang lain, dan mengenal berbagai karakter orang.. jadi si anak lebih mudah bersosialisasi nanti…

    Kalo kamu takut pengaruh buruk ke anak kamu di sekolah umum, Mungkin bisa coba sekolahkan anak kamu di sekolah Katolik. Lepas dari masalah agama, banyak yang mengakui bahwa Sekolah Katolik punya disiplin yang lebih baik dari Sekolah umum/Islam. banyak kok anak2 yang beragama islam tapi sekolah di sekolah Katolik, dan mereka nggak memaksa muri yang berlainan agama untuk mengikuti kegiatan agama di Sekolahnya (Beda dengan sekolah Kristen yang Kadang2 suka memaksa murid yang lain agama untuk menuruti kegiatan agama di sekolahnya).

    Ini aja sedikit sharing dari aku…. mudah2an bisa jadi masukan 🙂

    Reply

Leave a reply to kenterate Cancel reply